Tujuh Bulanan
Adat Banten
Menurut Hasan Mustapa (1985) Nujuh
Bulanan adalah Upacara yang dilaksanakan wanita hamil pertama kali ketika usia
kandunganya genap tujuh bulan. Untuk
menentukan waktu untuk mengadakan. Upacara Adat Nujuh Bulanan biasanya diambil
dari tanggal yang ada angka tujuhnya dan merupakan tanggal terakhir yaitu
tanggal duapuluh tujuh. Pengertian lebih dalam dari Upacara Nujuh Bulanan/ Tingkeban/
mitoni adalah upacara adat yang berupa selamatan yang dilaksanakan oleh ibu
hamil yang baru pertama kali mengandung yang usia kendungannya genap tujuh
bulan. Upacara Nujuh Bulanan ini dilaksanakan sebagai puji syukur kepada Tuhan
atas karunia yang diberikan berupa anak dalam kandungan dan meminta keselamatan dan harapan - harapan
baik untuk anaknya kelak.
Sejarah
tradisi ini berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami
istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan kali
namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja Kediri, yaitu
Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar menjalankan tiga hal yaitu:
Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tempurung
kelapa (bathok), setelah mandi berganti pakaian yang bersih dengan menggembol
kelapa gading yang dihiasi Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri yang
diikat dengan daun tebu tulak lalu dibrojolkan kebawah, setelah kelapa gading
tadi dibrojolkan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Setelah itu Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat
itu apabila ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau
mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.
Biasanya,
upacara dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan
Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit.
Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang.
Tradisi
tujuh bulanan di Banten tidak terlalu berbeda dengan tradisi tujuh bulanan di
daerah lainnya seperti adat Jawa Tengah atau Jawa Timur, Jawa Barat, dan Betawi
di Banten juga ada prosesi penyiraman yang dilakukan oleh suami, ibu wanita
hamil, ibu mertua dan saudara perempuan lainnya.
Selain
itu akan diadakan acara pengajian yang biasa dilakukan di rumah yang punya
hajat dan dalam pengajian ini dibacakan tujuh surah yaitu Yasin, Al-Kahfi,
Yusuf, Maryam, Ad-Dhukhan, Luqman, dan Al-Mulk kemudian dilanjutkan dengan
Mujahadah dan ditutup dengan bacaan shrokal/marhaban dengan si ibu berjabat
tangan kepada para tamu undangan. Selanjutnya pemakaian tujuh motif kain batik/jarik yaitu 1.
sidomukti
(melambangkan kebahagiaan), 2. sidoluhur (melambangkan kemuliaan), 3. truntum (melambangkan
agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh), 4. parangkusuma (melambangkan
perjuangan untuk tetap hidup), 5. semen
rama (melambangkan agar cinta kedua
orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan
selma-lamanya/tidak terceraikan), 6. udan
riris (melambangkan harapan agar
kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan), 7.
cakar ayam
(melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya). Kain terakhir yang
tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif
dringin.
Dalam acara ini tidak lupa terdapat rujakan yang berisi
macam-macam buah yaitu bengkoang, delima, jeruk bali, papaya, manga, salak,
pisang klutuk, jamblang, ceremai dan masih banyak lagi. Semua buah-buahan itu
sebagian dipotong-potong halus dan sebagian lagi dihaluskan dengan bumbu rujak.
Selain rujak, makanan yang bisa kita temukan dalam acara ini yaitu ketan punar,
dan nasi kuning yang dicampur dengan irisan telur dadar, petai cina. Tauge,
teri kering dan lainnya. Acara terakhir yaitu membaca doa dan
membagikan makanan serta rujak untuk para tamu.
Bagaimana upaya pelestarianya ?
BalasHapusBagaimana upaya pelestarianya ?
BalasHapus