Filsafat Islam Pasca-Ibn
Rusyd/Filsuf Islam Pasca-Ibn Rusyd/Ibn Taimiyyah
Sekilas
Filsafat Islam
Filsafat Islam
muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku
peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah
Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh
terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk
melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban
Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini
adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi
maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles,
maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa
Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk
menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan
tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan
pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218
H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan
saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat
lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H)
seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti
matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping
nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428
H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Sebagaimana
kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika,
politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa
Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam
tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya
filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik
yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat Islam bukanlah filsafat
Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal
tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun
Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal
merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat
dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak
filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk
memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka
menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah)
dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang
menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai
dan mengkritik para filosof Islam tersebut.
Ke-filosof-an
Ibn Taimiyyah
Sejak awal mula
Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami
ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya,
akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian
merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi
semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia
berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus
membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya
dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini
kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan
sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu:
A. Kondisi
Politik
Pada abad
ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum
muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu
dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil
ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah
timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah
barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai
Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam
dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum
pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…".
B. Kondisi Masyarakat
Sejak perang
salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan
peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan
dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan
beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan
membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut
mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan
kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya
gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk
daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke
Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus,
yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang
mengungsi sampai ke Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau
tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan
kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini
munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai
pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik,
yaitu Mesir.
C. Kondisi
Pemikiran
Sebelum masa
Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu
dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini
menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang
lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad
ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut
mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah
keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara
filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa,
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha
menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin
Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha
menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian
berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian
disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak
bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat",
masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap
kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat
sengit di antara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak
dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan
golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian
bersama.
Dalam milleu
seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh, dengan berbekal latar belakang
keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin Hambal- yang memegang teguh ajaran
agama serta keceerdasannya, ia keluar dari sarangnya untuk meluruskan
ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari pakem yang
seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan penggunaan akal manusia
yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan para ulama-ulama besar
waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn
Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq,
filsafat maupun tasawwufnya.
Ketegasan
Dibalik Ketakutan
Dalam karyanya
"Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya
dengan mengkritik kaum filosof sebagai "Ahli Bid'ah", disini ia
secara langsung menukil pernyataan Ar-Razi yang disebutnya sebagai
"pegangan ahli bidah" (pegangan kauf filosof, pen.) yang berbunyi:
"Ketika
dalil 'aql dan naql saling bertentangan, atau ketika teks naql dengan realita
akal saling bertentangan maka kemungkinan pemecahannya ada beberapa macam: a.
Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan ini jelas-jelas tidak mungkin; b.
Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun juga tidak mungkin; c. Atau dengan
mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak mungkin, karena akal adalah sumber
teks, apabila kita mendahulukan naql maka hal ini merupakan suatu bentuk
penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber naql, dan penghinaan terhadap
sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap sesuatu itu sendiri, maka
pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal dan naql; d. Maka wajib
mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin ditakwilkan dan kalau tidak
mungkin maka ditiadakan."
Ibn Taimiyyah
memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai pedoman umum yang dipakai oleh kaum
filosof dalam menentukan apa saja yang bisa dijadikan dalil dari Kitab Allah
SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja yang tidak bisa dijadikan dalil
dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum filosof menentang pengambilan
dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat Allah
SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan, kaum filosof berpendapat bahwa akal
tidak dapat menerimanya. Pedoman seperti ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan
masing-masing kaum filosof meletakkan dasar-dasar independen dalam menyikapi
setiap hal yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga
selanjutnya mereka meyakini bahwa inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya
adalah apa yang mereka perkirakan bahwa akal mereka bisa mengetahui dan
mencernanya dan meletakkan segala yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul
tunduk mengikuti garis-garis metode akal yang mereka ciptakan, untuk kemudian
yang cocok mereka ambil dan yang mereka rasa tidak cocok mereka buang.
Analisa Ibn
Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan
pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian
kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas
kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas
rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh
ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk
mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan
yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan
menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk
memahami dan menyingkap kebenaran yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan
untuk menghancurkan sendi-sendinya, maka dalam analisanya tetang metode Kaum
Filosof yang dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam menguraikan nash membagi
metode-metode kaum filosof dalam dua kelompok:
D Metode
penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua golongan:
1. Kaum
Pengkhayal
Kelompok ini
menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul mengabarkan tentang Allah
SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka serta hal-hal ghaib lainnya dengan
ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan yang sebenarnya, sebaliknya mereka
mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas khayalan-khayalan yang mereka buat
tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan inderawi atau siksa badani yang akan
mereka dapatkan di akhirat, walaupun mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya
bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk memberikan kepada umatnya pemahaman,
mereka melakukan hal ini, jadi menurut kelompok ini , walaupun hal ini
merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi dilakukan untuk kebaikan umat,
karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan kecuali dengan cara ini.
Sebagian dari
kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para filosof dan wali lebih utama
dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena mereka mengetahui yang
sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi dan Rasul lebih mulia
dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui
yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat
diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat
Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina,
al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.
2. Kaum Perubah dan Pentakwil
Kaum ini
berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak mengungkapkan tentang Allah SWT,
malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib lainnya kecuali untuk kebenaran,
dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan dibuktikan oleh akal kita, maka
kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan ucapan-ucapan ini dengan apa yang
mereka pandang cocok dengan pendapatnya, dengan beragam takwilan yang membawa
bahasa asalnya untuk keluar dari pengertian yang sebenarnya, seperti halnya
mereka merubah suatu lafadz dari satu makna ke makna lain yang mereka inginkan
tanpa bertujuan untuk mengetahui maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya
mereka mengetahui maksud sebenarnya dari Sang Mutakallim. Jika setiap
pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari pembawa
lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah melakukan kebohongan dengan
menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya sebagian besar kaum filosof
tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan tetapi kebanyakan mereka
mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan sebagainya yang tujuannya
untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam suatu lafadz. Secara
global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli kalam, seperti:
Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah.
E Metode
Pembodohan
Inilah yang
menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan kebodohan, dimana mereka
berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh pengikutnya adalah
orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh
Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri yang tertuang dalam
ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini mengatakan bahwa
kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan dari apa yang tampak
dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi, Rasul, Malaikat,
Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah seperti halnya
mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat.
Antara Ibn
Taimiyyah dan Al-Ghazali
Berbeda dengan
Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk
menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang
mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai
pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan
yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar
dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia
kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk
menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut
Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar
lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat,
karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah
terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil salah
satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya, yaitu ilmu mantiq yang
menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam mempelajari Ushul Fiqh, ia
meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan secara sempurna kecuali
dengan ilmu mantiq.
Kritik Ibn
Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang kejadian jisim dan alam
Ketika
Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran
Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan
ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang
bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah
mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya
memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap
Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil
Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan. Sebagaimana dalam masalah
kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya
pada dua ungkapan kaum filosof:
1. Ungkapan
tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof
apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus
bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.
2. Ungkapan
bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa
pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan
keinginannya.
Kemudian Ibn
Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya
mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat
datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak
mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu,
sebagaimana sabda-Nya: إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون
“Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia” Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah
bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang
sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan
pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang
Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah
ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat
Kita semua
hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat
dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh
campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini,
kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut
penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh
gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini
terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada
kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan
tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun
pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak
dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya,
sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah
dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya
sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila
digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan
untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran.
Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih
membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus
dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan
cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran
lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid
dengan membagi ilmu dalam dua golongan:
1. Ilmu yang
didapat dari akal. Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya,
yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu
alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain
dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam
mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan
kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim
menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya
ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan.
2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan.
Telaah Mantiq
Ibn Taimiyyah
Ibn Taimiyyah
mendapatkan pengetahuan tentang mantiq dengan mempelajari mantiq Aristoteles
(322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya,
sebagaimana ia mempelajari filsafat, iapun mempelajari mantiq untuk mencari
titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai
memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini,
ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini
dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa mantiq merupakan barang asing bagi
ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak
membutuhkan ilmu ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mantiq sama sekali tidak
dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan
oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq hanyalah berisi khayalan dan
angan-angan.
Tidak cukup
sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa
Al-Ghazali memandang mantiq dengan pandangan kebencian dan penuh waspada
terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam. Al-Ghazali lah yang
menurutnya sebagai orang pertama yang menyatakan keharusan mengambil mantiq
untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman. Ia kemudian mengkutip ungkapan Ibn
Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu mantiq: “Mantiq adalah pengantar
filsafat, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan bersungguh-sungguh dalam
mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan
tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang
memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn
Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam
khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk
pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum
syari’at tidak membutuhkan mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang
mantiq sebagai penentu dan burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan
Allah SWT. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya
sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para
ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak
dibutuhkan lagi ilmu mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan
barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan
harapan mendapatkan manfaat dari keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu
oleh syetan.”
Ibn Taimiyyah
juga menyerang mantiq dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan
bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara
keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk
bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan
berbekal ilmu mantiq, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis,
Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan
produknya tanpa pertolongan mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam
telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.
Tidak cukup
dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan serangannya pada ide dasar keilmuan ini
yang bersumber pada pembagian ilmu menjadi tashawwur(visualisasi) dan
tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk mendapatkan tashawwur adalah dengan had
(definisi) dan jalan untuk mendapatkan tashdiq adalah dengan qiyas(analogi),
juga tentang kalam yang terbagi menjadi empat tingkatan: dua tingkatan salbiah
(negatif) dan dua tingkatan mujabah (positif), semua pembagian ini dianggap Ibn
Taimiyyah sebagai suatu betuk kebohongan dan kebodohan baik dalam penafian
maupun penetapannya, maka selanjutnya ia mengingkari segala kebenaran yang diperoleh
dengan sylogisme mantiq dan analogi mantiq.
Kesimpulan Dan Penutup
Dari berbagai
uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang
merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana
semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka
semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat
terpaksa" yang serba panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh
perpecahan intern sudah sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat
ini. Apalagi ditambah ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya
ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita
adalah:
"Tepatkah
ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang tumbuh dalam kondisi politik dan
sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan dalam kondisi yang menjadi latar
belakang kita saat ini?". Sebuah pertanyaan dari penulis yang semoga bisa
mengantarkan kita untuk terus mencari dan memahami berbagai kejadian histories,
untuk kemudian kita bisa mengambil manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya
dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita bahas saat ini. Akhirnya beribu ungkapan
terimakasih saya persembahkan untuk Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa
mando'akan anaknya ini, dan tak lupa ungkapan rasa salut kepada segenap
rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk menambah wawasannya, permohonan maaf
dari saya apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan.
Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena semuanya adalah milik-Mu,
dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat dalam segalanya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Pustaka Al-Hidayah, Surabaya, 2002 2. Bik, Muhammad
Al-Hudhori, Ad-Daulah Al-Abbasiah, Muassasah Al-Mukhtar Al-Ula, Kairo, 2003 3.
Fauzan Mashri Al-Muhammady, Dr. Al-Janib Al-Falsafi min Al-Hadharah
Al-Islamiah, Daar Al-Hakim, Jakarta, 2004 4. Fuad Farid Ibrahim,Dr. & Abdul
Hamid Mutawali,Dr. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (terj), IRCiSoD, Yogyakarta,
2003 5. Zahra. Muhammad Abu. Ibn Taimiyyah Hayatuhu wa Ashruhu - Ara’uhu wa
Fiqhuhu Daar Al-Fikr Al-Arabi. Kairo. 2000 6. TaqiyuddinAhmad bin 'Abdul Halim
bin 'Abd As-Salam bin Taimiyyah, Dar u Ta'arudh Al-'Aql wa An-Naql, Daar
Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, 1997 7. Khazm. Ibn. Al-Fishal fi Al-Milal wa
An-Nikhal, Daar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut, 1999 8. Abu Al-Mawahib 'Abdul Wahab
bin Ahmad bin Ali Al-Anshori, At-Thabaqat Al-Kubra, Daar Ar-Rasyad Al-Haditsah,
Maroko, 1999 9. As-Sya’hrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Maktabah At-Taufiqiyyah,
Cairo, tanpa tahun penerbitan. 10. Majmu’ Al-Fatawa Ibn Taimiyyah tanpa nama
penerbit dan tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar