Senin, 21 Desember 2015

Wayang Indonesia



2.1  Pengertian Wayang
Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”.  Jika ditinjau dari arti filsafatnya, “wayang” dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dari dalam jiwa manusia.  Sifat-sifat yang dimaksud antara lain seperti watak angkara murka, kebajikan, serakah, dan lain sebagainya.
Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.  Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.  Dalang memimpin semua komponen pertunjukan untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.
Wayang merupakan salah satu jenis kesenian peninggalan masa lalu yang hingga kini masih hidup dan mendapat dukungan sebagian masyarakat. Berbagai jenis wayang tersebar di tengah masyarakat tetapi sebagian besar di antaranya sudah punah. Jenis wayang yang masih dikenal namanya dan masih ada tinggalannya, sebagian terkumpul di Museum Wayang Jakarat Kota. Jenis-jenis wayang yang masih tumbuh dan didukung oleh masyarakat pencintanya antara lain wayang kulit purwa, wayang golek purwa, dan wayang wong. Jenis wayang lain seperti wayang beber, wayang klitik, wayang dangkluk, wayang golek menak, wayang pakuan, wayang dupara, wayang kulit menak, wayang madya, dan banyak yang lain lagi, sebagian besar sudah dipertunjukkan lagi.
Dalam pertunjukkan wayang, dalang merupakan figur sentral yang memiliki berbagai fungsi yaitu: sebagai seniman, sebagai juru didik, sebagai ahli falsafah dan kerohanian, sebagai juru suluh, sebagai juru dakwah, sebagai juru hibur, sebagai komunikator sosial, dan sebagai pelestari seni budaya

2.2  Asal Mula Wayang
Mengenai asal-usul wayang khusus di Indonesia juga ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kebudayaan India yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pendapat lain mengatakan bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan asli masyarakat Jawa tanpa ada pengaruh budaya lain. Disebutkan pula oleh beberapa sumber bahwa wayang berasal dari relief candi karena candi memuat cerita wayang, seperti candi Prambanan.
Bukti keberadaan wayang dalam perjalanan sejarah di Indonesia tercatat dalam berbagai prasasti, seperti prasasti Tembaga (840 M), prasasti Ugrasena (896 M), dan prasasti Belitung (907 M). Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang sendiri adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Meski ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul wayang, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan wayang di Indonesia sudah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan hingga kini masih hidup di dalam masyarakat.
2.3  Jenis-jenis Wayang
Jenis wayang dapat dibedakan dari berbagai sudut pandang. Berdasarkan cerita yang dibawakan, cara mementaskan, dan bahan pembuatannya, di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, terdapat sekitar 40 jenis wayang yang sebagian di antaranya sudah punah.
2.3.1        Jenis Wayang Berdasarkan Cerita
Cerita yang digunakan dalam pementasan wayang sangat beragam. Lakon wayang yang biasa dan sudah lebih dikenal masyarakat adalah Mahabharata dan Ramayana. Jenis wayang yang menggunakan kisah tersebut antara lain : Wayang kulit, Wayang Golek,Wayang Orang, dan Wayang Jemblung. Wayang-wayang tersebut biasa juga disebut wayang purwa. Wayang madya (Jawa) adalah wayang yang menggunakan unsur “cerita sesudah zaman purwa”. Cerita itu mengisahkan para raja Jawa yang dianggap keturunan Pandawa.
Sementara itu wayang gedog, wayang klitik, dan wayang beber (ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali, melakonkan cerita panji.
2.3.2        Jenis Wayang Berdasarkan Cara Pementasannya
Cara pementasan wayang secara langsung berkait dengan bentuk wayang. Wayang kulit, misalnya. Pola pertunjukan wayang kulit yaitu bentuk wayang yang dinikmati bayangannya dalam kelir (layar) dihasilkan oleh sinar blencong, cempor, atau bahkan lampu pijar.
Bentuk pementasan lain adalah dengan membeberkan gambar wayang yang dibuat di atas kulit kayu, kertas, maupun bahan papar lainnya. Wayang yang dipentaskan dalam bentuk Pementasan seperti itu disebut wayang beber.
Berbeda dengan pementasan wayang yang mulanya diadakan pada malam hari, wayang golek dipentaskan pada siang hari. Hal ini karena wayang golek memiliki bentuk seperti boneka, sehingga sifat pementasannya tidak menitikberatkan tampilan bayangan pada kelir sebagaimana sifat pementasan wayang pada malam hari.
Wayang klitik atau wayang krucil merupakan wayang boneka kayu, tetapi berbeda dengan wayang golek. Bentuknya pipih dan lebih menyerupai bentuk wayang kulit. Untuk mementaskannya tidak diperlukan kelir seperti pada wayang kulit, tetapi seperti memainkan golek.
Wayang dangkluk juga terbuat dari kayu, tetapi cara pementasannya sangat khusus. Wayang ini digantungkan pada empat utas kawat yang direntangkan melintasi panggung. Yang mempertunjukkannya adalah dua orang dalang yang masing-masing berada di sisi panggung.
Selain wayang-wayang yang terbuat dari kulit maupun kayu, ada pula wayang yang pemainnya orang, yaitu wayang orang, wayang topeng, wayang langendria, dan wayang jemblung. Pementasannya sama dengan sandiwara lainnya, hanya saja memakai kelengkapan pewayangan mulai dari pakaian, musik, tari, dan cerita.
2.3.3        Jenis Wayang Berdasarkan Bahan Pembuatannya
Bahan pembuatan wayang secara garis besar terdiri atas bahan dwimatra dan trimatra. Jenis wayang dwimatra biasa menggunakan bahan-bahan papar seperti kertas, kain, karton, dan kulit. Sementara itu jenis wayang trimatra terbuat dari bahan pejal berupa kayu bulat-torak.
Jenis wayang terbuat dari kulit antara lain wayang kulit purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang dupara, wayang jawa, wayang dobel, wayang kulit menak, wayang wahyu, wayang Ramayana, wayang parwa, wayang gambuh, wayang cupak, dan wayang calonarang.
Wayang beber merupakan jenis wayang yang dibuat di atas beberan kertas, kain, atau bahan sejenis lainnya. Keberadaannya pun berbeda dengan jenis wayang lainnya. Ia tidak mengalami perkembangan yang sinambung hingga kini.
Wayang yang terbuat dari bahan kayu terdiri atas dua macam. Pertama, wayang golek. Wayang ini lebih mirip dengan boneka kayu yang terbuat dari kayu bulat-torak. Kedua, wayang yang lebih mirip wayang kulit, dibuat dari kayu pipih. Jenis wayang ini disebut wayang klitik.
2.4  Perundang-Undangan tentang Perlindungan Wayang
Ø  Peraturan Daerah Tentang Pelestarian Warisan Budaya Jawa Barat:
ü  Pasal 2 Pelestarian warisan budaya Daerah dimaksudkan untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan warisan budaya Daerah yang bersifat benda maupun tak benda.
ü  Pasal 3 Pelestarian warisan budaya Daerah bertujuan:
a.       melestarikan warisan budaya Daerah sebagai jatidiri masyarakat Jawa Barat dan aset nasional;
b.      meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Jawa Barat melalui warisan budaya;
c.       meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempromosikan warisan budaya Daerah; dan
d.      mempromosikan tinggalan karya budaya bangsa kepada masyarakat internasional.
Ø  Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 Nomor 7 Seri E);
Ø  Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Kesenian (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 6 Seri E);
Ø  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
2.5  Upaya Pelestarian Wayang
Wayang merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia dan harus dikembangkan dan dilestarikan agar tidak punah ataupun tidak dirampas oleh bangsa lain. Namun saat ini masyarakat Indonesia terutama generasi muda, banyak diantara mereka yang lebih mengenal bahkan menggemari pertunjukkan seni modern.
Di era globalisasi ini, dunia perwayangan pun tak urung untuk menggagaskan modernisasi pergelaran wayang. Upaya ini dilakukan agar wayang tetap dikenal masyarakat luas. Para ahli pewayangan mencari cara agar wayang tetap dikenal dengan mudah dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, tidak sampai semalam suntuk. Maka dari itu, salah satu upaya untuk mempelopori pertunjukkan pewayangan dalam bahasa Indonesia dan hanya beberapa jam saja, tanpa menampilkan uyon-uyon atau lalaguan (lagu-lagu) mulai dilakukan dan akhirnya mendapat respon dari masyarakat baik yang pro maupun yang kontra.
Dan ketika gagasan tersebut diseminarkan di aula Universitas Indonesia, yang dihadiri oleh para dalang dan para ahli dari kalangan masyarakat dan perguruan tinggi dan disertai pula oleh para pembina dan pencipta pewayangan, untuk menemukan dan merumuskan apa yang dimaksud dengan  pengindonesiaan wayang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar