SEJARAH KERAJAAN BANTEN
- Awal Terbentuknya Kerajaan Banten
Pada awalnya kawasan
Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke
kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama
Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap
dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka
mengusir Portugal dari Malaka tahun 1513.
Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan
Kelapa sekitar tahun 1527,
yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Sebelum kerajaan Islam
berkuasa di Banten, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja Sunda
(dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebutkan nama Wahanten
Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di
ujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati
dari Cirebon, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta
perdangangan orang-orang islam di sana.
Menurut sumber
tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan
ramah-tamah dan tertarik masuk islam. Penguasa itu membukakan jalan seluas-luasnya
bagi kegiatan pengislaman di Banten. Dengan segera ia menjadi orang yang
berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya.
Namun, menurut berita Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui
jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman
mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali
dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan
tiba-tiba.
Menurut babad Pajajaran, masuknya Islam
di Banten dimulai ketika Prabu Siliwangi sering melihat cahaya yang
menyala-nyala di langit. Untuk mencari tahu tentang arti itu, ia mengutus Raden
Kian Santang, penasehat kerajaan Pajajaran yang mengatakan bahwa cahaya di atas
Banten adalah cahaya Islam. Kian Santang pun memeluk Islam dan kembali ke Pajajaran
untuk mengislamkan masyarakat. Upaya Kian Santang hanya berhasil untuk beberapa
orang saja, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran
menjadi berantakan.
Untuk menyebarkan Islam
di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan
Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas
kota-kota pelabuhan lain di Jawa Barat yang semula di bawah kekuasaan di
Pajajaran.
Setelah ia kembali ke
Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya, Hasanuddin.
Hasanuddin sendiri menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi
Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam
memperluas daerah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera
Selatan.
Pada tahun 1568,
di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Sultan Maulana Hasanuddin
memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang
menceritakan kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di
Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak.
Selain mulai membangun
benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan
kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga
telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau,
Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh
raja tersebut.
Sultan Maulana Hasanuddin memerintah
banten selama 18 tahun (1552 – 1570). Ia telah memberikan andil besar dalam
meletakkan fondasi islam di Nusantara. Selain dengan mendirikan masjid dan
pesantren, Maulana Hasanuddin juga mengirim ulama ke berbagai daerah yang telah
dikuasainya.
Sultan Maulana
Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf.
Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, pada tahun 1579 Yusuf
menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu masih menguasai
sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh
dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam.
Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan
gelar yang disandang sebelumnya.
Setelah Yusuf
meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad, yang masih
muda belia. Selama Sultan Muhammad masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan
dipegang oleh kali (Arab: qadhi, jaksa agung) bersama empat pembesar lainnya.
Raja Banten yang saleh ini melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan
gugur dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang baru
berusia 5 bulan, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang
pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang
wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun
1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja Banten
pertama dengan gelar Sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan
digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan Abulfath
Abdulfath ini terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang
berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.
- Letak Kerajaan
Dasar-dasar Kerajaan
Banten diletakkan oleh Hasanuddin (putra Fatahillah) dan mencapai kejayaannya
pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Perkembangan Kerajaan Banten
yang demikian pesat, tidak lepas dari posisi dan letaknya yang strategis di
sekitar Selat Sunda.
Secara geografis,
Kerajaan Banten terletak di daerah Jawa Barat bagian utara. Kerajaan Banten menjadi
penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat Sunda. Dengan
posisi yang strategis Kerajaan Banten berkembang menjadi sebuah kerajaan besar
di Jawa Barat dan bahkan menjadi saingan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan
di Batavia.
- Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten
merupakan kerajaan maritim dan mengandalkanperdagangan dalam menopang
perekonomiannya. Monopoli atas perdaganganlada di
Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang
perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat
niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh
Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris,
Denmark
dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia
India,
Siam,
Vietnam,
Filipina,
Cina
dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta
1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten
memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan
menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar
dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten.
- Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau
Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk
memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk
membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun diUjung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels,
sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan
penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan
(Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul
Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan
dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari
markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten
resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan
dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini
merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
- Kehidupan Politik
Berkembangnya Kerajaan
Banten, tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang pernah memerintah
Kerajaan Banten.
1)
Raja Hasanuddin
Setelah Banten di
islamkan oleh Fatahillah, daerah Banten diserahkan kepada putranya
yang bernama Hasanuddin. la memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Dengan
meletakkan dasar-dasar pemerintahan, Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya
sebagai raja pertama. Pada masa pemerintahannya, agama Islam dan kekuasaan
Kerajaan Banten berkembang cukup pesat.
Raja Hasanuddin, juga
memperluas wilayah kekuasaannya ke Lampung. Dengan menduduki daerah Lampung,
Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas
pelayaran-perdagangan Selat Sunda, sehingga Kerajaan Banten. Kerajaan Banten
mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Ageng setiap pedagang yang
melewati Selat Tirtayasa. Letak Kerajaan Banten sangat strategis karena berada
Sunda diwajibkan untuk melakukan di Selat Sunda yang bertambah
ramai setelah dikuasainya Selat kegiatannya di Bandar Banten.
Raja Hasanuddin kawin
dengan putri Raja Indrapura. Bahkan Raja Indra-pura menyerahkan tanah Selebar
yang banyak menghasilkan lada kepadanya. Di bawah pemerintahan Raja Hasanuddin,
Kerajaan Banten banyak dikunjungi oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, Persia,
Cina, Turki, Pegu (Burma Selatan), dan Keling.
2)
Panembahan Yusuf
Setelah Raja
Hasanuddin wafat tahun 1570 M, putranya yang bergelar Panembahan Yusuf menjadi
raja Banten berikutnya. la berupaya untuk memajukan pertanian dan pengairan. la
juga berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya. Langkah-langkah
yang ditempuhnya antara lain, merebut Pakuan pada tahun 1579 M. Dalam
pertempuran tersebut, raja Pakuan yang bernama Prabu Sedah tewas. Kerajaan
Pajajaran yang merupakan benteng terakhir Kerajaan Hindu di Jawa Barat berhasil
dikuasainya. Setelah 10 tahun memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat sakit
keras yang dideritanya.
3)
Maulana Muhammad
Ketika Panembahan
Yusuf sedang sakit, saudaranya yang bernama Pangeran Jepara datang ke Banten.
Ternyata Pangeran Jepara yang dididik oleh Ratu Kali Nyamat ingin menduduki
Kerajaan Banten. Tetapi mangkubumi Kerajaan Banten dan pejabat-pejabat lainnya
tidak menyetujuinya. Mereka mengangkat putra Panembahan Yusuf yang baru berumur
sembilan tahun bernama Maulana Muhammad menjadi raja Banten dengan gelar
Kanjeng Ratu Banten. Mangkubumi menjadi wali raja. Mangkubumi menjalankan
seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan sampai rajanya siap untuk memerintah.
Pada tahun 1596 M
Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan Kerajaan Banten untuk menyerang Palembang.
Tujuannya untuk menduduki bandar-bandar dagang yang terletak di tepi Selat
Malaka agar bisa dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi
lainnya dari Sumatera. Palembang akan dikuasainya, tetapi tidak berhasil, malah
Kanjeng Ratu Banten tertembak dan akhirnya wafat. Tahta kerajaan kemudian
berpindah kepada putranya yang baru berumur lima bulan yang bernama
Abu'Mufakir.
4)
Abu'Mufakir
Abu'Mufakir dibantu
oleh wali kerajaan yang bernama Jayanegara. Akan tetapi, ia sangat dipengaruhi
oleh pengasuh pangeran yang bernama Nyai Emban Rangkung.
Pada tahun 1596 M itu
juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di bawah pimpinan
Comelis de Houtman. Mereka berlabuh di pelabuhan Banten. Tujuan awal mereka
datang ke Indonesia adalah untuk membeli rempah-rempah.
5)
Sultan Ageng Tirtayasa
Setelah wafat, Abul
Mufakir digantikan oleh putranya dengan gelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad
Rahmatullah. Akan tetapi berita tentang pemerintahan sultan ini tidak dapat
diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu Ma'ali wafat, ia digantikan
oleh putranya yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah Banten dari
tahun 1651-1692 M.
Di bawah pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan. Sultan Ageng
Tirtayasa berupaya memperluas kerajaannya dan mengusir Belanda dari Batavia.
Banten mendukung perlawan-an Kerajaan Mataram terhadap Belanda di Batavia.
Kegagalan Kerajaan Mataram tidak mengurangi semangat Sultan Ageng untuk
mencapai cita-citanya.
Sultan Ageng Tirtayasa
memajukan aktivitas perdagangan agar dapat bersaing dengan Belanda di Batavia.
Di samping itu. Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan kepada pasukan Kerajaan
Banten untuk mengadakan perampokan terhadap Belanda di Batavia, sedangkan
perkebunan tebu milik Belanda di sebelah barat Ciangke dirusak oleh orang-orang
Banten. Gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Banten atas perintah Sultan
Ageng Tirtayasa membuat Belanda kewalahan menghadapinya.
Pada tahun 1671 M
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja pembantu dengan
gelar Sultan Abdul Kahar. Sejak saat itu Sultan Ageng Tirtayasa beristirahat di
Tirtayasa/ tetapi ia tidak melepaskan pemerintahan seluruhnya. Pada tahun 1674
M, Sultan Abdul Kahar berangkat ke Mekkah dan setelah mengunjungi Turki ia kembali
ke Banten (1676 M). Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Haji.Ketika memerintah Kerajaan Banten, Sultan Haji menjalin hubungan baik
dengan Belanda. Ternyata hubungan ini dijadikan kesempatan yang bagus oleh
Belanda untuk memasuki Kerajaan Banten. Melihat terjalinnya hubungan antara
Sultan Haji dengan Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa menarik kembali tahta
kerajaan dari tangan Sultan Haji. Namun Sultan Haji tetap mempertahankan tahta
kerajaannya, sehingga terjadi perang saudara di Kerajaan Banten
antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji yang mendapat bantuan
Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia
hingga wafat tahun 1692 M.
Kemenangan Sultan Haji
merupakan kehancuran Kerajaan Banten, karena selanjutnya Kerajaan Banten berada
di bawah pengawasan pihak Belanda. Dengan demikian. Sultan Haji hanyalah
sebagai lambang belaka (raja boneka) dalam pemerintahan Kerajaan Banten, karena
seluruh kekuasaan diatur oleh Belanda.
- Perekonomian
Dalam meletakan dasar
pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan
pedalaman pembukaan sawahmulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang
karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak,
perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan,
sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang
siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang),
panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap).
Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama
peralatanya seperti kujang,patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng
antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru
dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjangkanal tersebut,
antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam.
30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk
orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina
pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk
Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri
sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kotametropolitan, dengan jumlah penduduk dan
kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di
dunia pada masa tersebut.
- Pemerintahan
Setelah Banten muncul
sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan,
sementara dalam lingkaran istana terdapat gelarPangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang
disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan
gelar Mangkubumi, Kadi,
Patih
serta Syahbandar
yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu
atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan
istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja,
serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan
Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten
dan Ci Karangantu.
Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh
tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara
berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya
juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten.
Berdasarkan Sejarah
Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara
pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh
Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya.
Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi
oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.
Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampungyang
mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan
Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten
telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke
Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang
berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar
yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar