21. MAKNA ASYHADU
TUJUAN
Peserta memahami makna syahadah
baik secara bahasa maupun istilah.
Peserta memahami pengaruh syahadah
bagi kehidupan seorang muslim sebagai
konsekuensi dari syahadatnya.
RINCIAN
BAHASAN
Secara bahasa
Asyhadu berarti saya bersyahadah. Dalam bahasa Arab kata ini
berbentuk
fi’il mudhori’ atau setara dengan present continuous tense dalam
bahasa
Inggris. Hal
ini menunjukkan suatu aktivitas yang sedang berlangsung dan belum
selesai. Kata
syahadah secara bahasa mengandung 3 makna, yaitu :
1. Al i’lanu (pernyataan) (QS.3:64)
Seseorang saat memasuki pintu
gerbang Islam mengiklankan, menyatakan
bahwa Tidak ada Ilah selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul Allah. Kata-kata
ini bukan saja syarat makna, namun
juga demikian berat dan tinggi konsekuensi
yang ada di belakangnya, antara neraka
atau syurga, antara azab yang pedih atau
kenikmatan yang abadi.
Secara substansial kalimat syahadah
adalah pernyataan iman kepada Allah
dan Rasul-Nya, sekaligus pengukuhan
Allah sebagai satu-satunya ilah dan
Muhammad SAW sebagai satu-satunya
uswah (teladan). Kata-kata perjanjian ini
diikrarkan agar secara sosial
segera terbedakan antara pengikut Allah dan
pengikut thagut (syaitan), siapa
yang meyakini dan siapa yang tidak percaya akan
kerasulan Muhammas SAW, siapa yang
beriman dan siapa yang kafir.
Pada periode Makah, sikap al-i’lan
ini segera diikuti konsekuensi nyata. Seperti
kisah Bilal bin Rabbah, Ammar bin
Yasir, Mush’ab bin Ummair r.a. dalam
mengikrarkan keislaman mereka dan
dahsyatnya ujian yang segera mereka terima.
2.
3.
Al-wa’du
(janji) (QS.7:172)
Syahadah merupakan sebuah
perjanjian. Jika seseorang berjanji, selama janji
itu belum
direalisasikan maka seharusnya ia merasa berhutang, sebab janji adalah
hutang dan
hutang harus dibayar. Bila seseorang tidak dikejar rasa bersalah ketika
ia tidak
memenuhi janjinya, maka ia memiliki ciri orang munafik. Sebagai
konsekuensi
dari janjinya maka ia haruslah beramal.
Al-qosamu
(QS.6:162-163)
Makna kata syahadah yang lain
adalah al-qosamu (sumpah). Ini berarti dengan
melafadzkan
syahadatain kita bersumpah untuk menjadikan Allah saja sebagai ilah
dan Rasulullah
SAW sebagai qudwah (contoh).
Sumpah lebih berat dari sekedar
pernyataan dan janji. Maka seorang muslim
terikat dengan
sumpah yang diikrarkannya secara sadar, dengan segenap
konsekuensi
yang ada di belakangnya. Diantara konsekuensi itu adalah
pengamalan
kalimat yang secara berulang kita ucapkan dalam shalat :
“...Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku (hanyalah) untuk Allah,
Rabb semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya...”
(QS.6:162-163)
Jika seorang muslim memegang teguh
sumpah ini, lengkap dengan seluruh
konsekuensinya, maka balasannya
adalah surga, jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, dengan
segala kenikmatan dan kesejahteraan yang
dilimpahkan oleh Allah SWT.
Jalan menegakkan sumpah ini
bukanlah jalan yang mudah dan mulus, melainkan
merupakan jalan taqwa yang sukar
dan mendaki. Surga tidak diperoleh secara
mudah dengan hanya menjalankan
ibadah mahdhoh (khusus) lalu mengabaikan
totalitas ibadah. Surga diberikan
hanya untuk orang-orang yang diridhai-Nya,
orang-orang yang telah teruji
keimanannya, teruji cintanya kepada Allah dan rasul-
Nya, orang-orang yang berjuang di
jalannya. Firman Allah :
“Apakah kamu mengira bahwa kamu
akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana
orang-orang sebelum kamu ?...” (QS.2:214)
Adapun secara istilah, syahadah
merupakan suatu pernyataan, janji sekaligus
sumpah untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dengan membenarkan di dalam hati
(At tasdiiqu bil qalbi),
dinyatakan dengan lisan (al-qoulu bil lisan) dan dibuktikan dengan
perbuatan (Al-amalu bil arkan).
Sabda Rasulullah SAW :
“Iman ialah dikenali oleh hati,
diucapkan dengan lisan dan diamalkan rukun-
rukunnya.”(HR Ibnu Hibban).
Bersyahadah merupakan langkah awal
untuk beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya. Keimanan seseorang yang
bersyahadah harus diikuti dan disempurnakan dengan
istiqomah. Karena tidak ada iman
tanpa istiqomah dan tiada istiqomah tanpa iman
(QS.41:30). Iman tanpa istiqomah
adalah lemah dan tidak sempurna, sedangkan
istiqomah tanpa iman adalah
kebatilan. Sabda Rasulullah SAW :
“Katakanlah kamu beriman kepada
Allah, kemudian beristiqomahlah (dalam keimanan).”
(al Hadits)
Manusia yang istiqomah memiliki
ciri-ciri sikap berani (syaja’ah), tenang (ithmi’nan)
dan optimis (tafa’ul). Sikap berani
disebabkan adanya keyakinan akan pertolongan dari
AllahSWT dalam setiap amal shalih
yang dikerjakan. Sikap tenang ditimbulkan karena
percaya bahwa apapun yang menimpa
dirinya tidak terlepas dari takdir Allah.
Ketenangan ini juga dihasilkan
karena ia senantiasa mengingat Allah. Firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. 13.28)
Ciri yang lain adalah sikap optimis
yang timbul karena dalam setiap amalnya ia
berorientasi pada Allah SWT, ia
berusaha secara optimal lalu menyerahkan hasilnya
kepada Allah dengan mengharapkan
ridha dan jannah-Nya.
Ketiga sikap tersebut merupakan
anugerah dari Allah bagi orang-orang yang
istiqomah, yang akan membawa mereka
pada kebahagiaan hidup (as-sa’adah) baik di
dunia maupun di akhirat.
DISKUSI
Cobalah temukan beberapa bentuk
ilah dalam kehidupan manusia, dan berilah contoh
sikap (manifestasi) dari
peng-ilahan selain Allah tersebut.
[Jawab : (1)
hawa nafsu (QS.25:43), (2) patung/berhala (26:69-76), (3) jin dan malaikat
(34:40-41;72:6),
(4) Nabi-nabi (3:79-80), (5) Thagut (2:256; 16:36), (6) Orang-orang alim
(9:31)]
REFERENSI
Paket BP Nurul
Fikri, Syahadahmu Syahadahku
Muh. Said al
Qaththani, Muh. Bin Abd. Wahhab, Muh. Qutb, Memurnikan Laa Ilaaha
Illallah
DR. Ibrahim
Muh. bin Al Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam
Koleksi Bahan
Tasrbiyah Islamic Network (Isnet, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar