Sabtu, 19 Desember 2015

Makna Asyhadu

21. MAKNA ASYHADU

TUJUAN
Peserta memahami makna syahadah baik secara bahasa maupun istilah.
Peserta memahami pengaruh syahadah bagi kehidupan seorang muslim sebagai
konsekuensi dari syahadatnya.
RINCIAN BAHASAN
Secara bahasa Asyhadu berarti saya bersyahadah. Dalam bahasa Arab kata ini
berbentuk fi’il mudhori’ atau setara dengan present continuous tense dalam bahasa
Inggris. Hal ini menunjukkan suatu aktivitas yang sedang berlangsung dan belum
selesai. Kata syahadah secara bahasa mengandung 3 makna, yaitu :
1.  Al i’lanu (pernyataan) (QS.3:64)
Seseorang saat memasuki pintu gerbang Islam mengiklankan, menyatakan
bahwa Tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Kata-kata
ini bukan saja syarat makna, namun juga demikian berat dan tinggi konsekuensi
yang ada di belakangnya, antara neraka atau syurga, antara azab yang pedih atau
kenikmatan yang abadi.
Secara substansial kalimat syahadah adalah pernyataan iman kepada Allah
dan Rasul-Nya, sekaligus pengukuhan Allah sebagai satu-satunya ilah dan
Muhammad SAW sebagai satu-satunya uswah (teladan). Kata-kata perjanjian ini
diikrarkan agar secara sosial segera terbedakan antara pengikut Allah dan
pengikut thagut (syaitan), siapa yang meyakini dan siapa yang tidak percaya akan
kerasulan Muhammas SAW, siapa yang beriman dan siapa yang kafir.
Pada periode Makah, sikap al-i’lan ini segera diikuti konsekuensi nyata. Seperti
kisah Bilal bin Rabbah, Ammar bin Yasir, Mush’ab bin Ummair r.a. dalam
mengikrarkan keislaman mereka dan dahsyatnya ujian yang segera mereka terima.


2.






3.

Al-wa’du (janji) (QS.7:172)
Syahadah merupakan sebuah perjanjian. Jika seseorang berjanji, selama janji
itu belum direalisasikan maka seharusnya ia merasa berhutang, sebab janji adalah
hutang dan hutang harus dibayar. Bila seseorang tidak dikejar rasa bersalah ketika
ia tidak memenuhi janjinya, maka ia memiliki ciri orang munafik. Sebagai
konsekuensi dari janjinya maka ia haruslah beramal.
Al-qosamu (QS.6:162-163)
Makna kata syahadah yang lain adalah al-qosamu (sumpah). Ini berarti dengan
melafadzkan syahadatain kita bersumpah untuk menjadikan Allah saja sebagai ilah
dan Rasulullah SAW sebagai qudwah (contoh).
Sumpah lebih berat dari sekedar pernyataan dan janji. Maka seorang muslim
terikat dengan sumpah yang diikrarkannya secara sadar, dengan segenap
konsekuensi yang ada di belakangnya. Diantara konsekuensi itu adalah
pengamalan kalimat yang secara berulang kita ucapkan dalam shalat :









...Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku (hanyalah) untuk Allah,
Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya...” (QS.6:162-163)
Jika seorang muslim memegang teguh sumpah ini, lengkap dengan seluruh
konsekuensinya, maka balasannya adalah surga, jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, dengan segala kenikmatan dan kesejahteraan yang
dilimpahkan oleh Allah SWT.
Jalan menegakkan sumpah ini bukanlah jalan yang mudah dan mulus, melainkan
merupakan jalan taqwa yang sukar dan mendaki. Surga tidak diperoleh secara
mudah dengan hanya menjalankan ibadah mahdhoh (khusus) lalu mengabaikan
totalitas ibadah. Surga diberikan hanya untuk orang-orang yang diridhai-Nya,
orang-orang yang telah teruji keimanannya, teruji cintanya kepada Allah dan rasul-
Nya, orang-orang yang berjuang di jalannya. Firman Allah :
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana orang-orang sebelum kamu ?...” (QS.2:214)
Adapun secara istilah, syahadah merupakan suatu pernyataan, janji sekaligus
sumpah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan membenarkan di dalam hati
(At tasdiiqu bil qalbi), dinyatakan dengan lisan (al-qoulu bil lisan) dan dibuktikan dengan
perbuatan (Al-amalu bil arkan). Sabda Rasulullah SAW :
Iman ialah dikenali oleh hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan rukun-
rukunnya.”(HR Ibnu Hibban).
Bersyahadah merupakan langkah awal untuk beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya. Keimanan seseorang yang bersyahadah harus diikuti dan disempurnakan dengan
istiqomah. Karena tidak ada iman tanpa istiqomah dan tiada istiqomah tanpa iman
(QS.41:30). Iman tanpa istiqomah adalah lemah dan tidak sempurna, sedangkan
istiqomah tanpa iman adalah kebatilan. Sabda Rasulullah SAW :
Katakanlah kamu beriman kepada Allah, kemudian beristiqomahlah (dalam keimanan).
(al Hadits)
Manusia yang istiqomah memiliki ciri-ciri sikap berani (syaja’ah), tenang (ithmi’nan)
dan optimis (tafa’ul). Sikap berani disebabkan adanya keyakinan akan pertolongan dari
AllahSWT dalam setiap amal shalih yang dikerjakan. Sikap tenang ditimbulkan karena
percaya bahwa apapun yang menimpa dirinya tidak terlepas dari takdir Allah.
Ketenangan ini juga dihasilkan karena ia senantiasa mengingat Allah. Firman Allah :
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. 13.28)
Ciri yang lain adalah sikap optimis yang timbul karena dalam setiap amalnya ia
berorientasi pada Allah SWT, ia berusaha secara optimal lalu menyerahkan hasilnya
kepada Allah dengan mengharapkan ridha dan jannah-Nya.
Ketiga sikap tersebut merupakan anugerah dari Allah bagi orang-orang yang
istiqomah, yang akan membawa mereka pada kebahagiaan hidup (as-sa’adah) baik di
dunia maupun di akhirat.
DISKUSI
Cobalah temukan beberapa bentuk ilah dalam kehidupan manusia, dan berilah contoh
sikap (manifestasi) dari peng-ilahan selain Allah tersebut.







[Jawab : (1) hawa nafsu (QS.25:43), (2) patung/berhala (26:69-76), (3) jin dan malaikat
(34:40-41;72:6), (4) Nabi-nabi (3:79-80), (5) Thagut (2:256; 16:36), (6) Orang-orang alim
(9:31)]
REFERENSI
Paket BP Nurul Fikri, Syahadahmu Syahadahku
Muh. Said al Qaththani, Muh. Bin Abd. Wahhab, Muh. Qutb, Memurnikan Laa Ilaaha
Illallah
DR. Ibrahim Muh. bin Al Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam
Koleksi Bahan Tasrbiyah Islamic Network (Isnet, 1996)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar