Senin, 21 Desember 2015

Hubungan Alhikmah, Musyawarah, dan Sistem Perwakilan serta Makna Sila Keempat



Hubungan Alhikmah, Musyawarah, dan Sistem Perwakilan serta Makna Sila Keempat
Banyak yang memaknai sila keempat Pancasila itu sendiri yang menyiratkan adanya sistem demokrasi. Karena menurut mereka jika diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan, permusyawaratan dan kedaulatan rakyat.
Namun sebenarnya, sila keempat tersebut bukanlah menyiratkan tentang sistem demokrasi akan tetapi yang dianut Indonesia adalah musyawarah melalui sistem perwakilan. Karena Nabi Muhammad dan para sahabatnya telah menerapkannya dalam memutuskan perkara besar mengenai ummat.
Diantaranya ketika perang Uhud, perang Badar hingga saat menentukan khalifah pengganti Rasulullah pun para sahabat memusyawarahkannya terlebih dahulu. Untuk lebih jelasnya kita pahami terlebih dahulu point-point yang terkandung dalam sila keempat.
1.      Al-Hikmah
Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani.
Dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata Hikmah mempunyai beberapa arti. Pertama, kebijaksanaan dari Allah. Kedua, sakti atau kesaktian (kekuatan ghaib). Ketiga, arti atau makna yang dalam. Keempat, manfaat.
Sekarang marilah kita simak definisi ilmu al­-Hikmah secara lengkap yang meliputi definisi secara bahasa, istilah syari’at dan pendapat para ulama tafsir dalam masalah ini. Menurut kamus bahasa Arab, al-Hikmah mempunyai banyak arti. Diantaranya kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-­Qur’anul karim.
Al-Hikmah juga bermakna kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu membuat pemiliknya menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional). Al-Hikmah juga merupakan ungkapan dari perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat pula.
2.      Musyawarah
Menurut bahasa, musyawarah atau syura’ memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu (Mu’jam Maqayis Al Lughah 3/226). Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura’, diantara mereka adalah Ar Raghib Al Ashfahani yang mendefinisikan syura’ sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura’ (Al Mufradat fi Gharib Al Quran hlm. 207).
Ibnu Al Arabi Al Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura’ saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki (Ahkam Al Quran 1/297). Sedangkan definisi syura’ yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran (Asy Syura’ fi Zhilli Nizhami Al Hukm Al Islami hlm. 14).
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura’ sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan (Asy Syura’ fi Al Kitab wa as-Sunnah hlm. 13).
Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat hingga tercapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat.
3.      Sistem Perwakilan
Perwakilan adalah suatu sistem arti tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan dengan melalui badan-badan perwakilan. Jadi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui system perwakilan dan keputusan-keputusannya diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
4.      Hubungan antara Hikmah, Musyawarah dan Sistem Perwakilan
Di dalam al-Qur`an, musyawarah menjadi indikator terpenting yang menunjukkan kualitas keimanan pada suatu masyarakat serta menjadi karakter utama yang melekat pada semua komunitas yang mempersembahkan hidup mereka demi kejayaan agama Islam.
Di dalam al-Qur`an, musyawarah disandingkan sejajar dengan shalat dan infak. Allah SWT berfirman: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." (QS al-Syûrâ [42]: 38).
Lewat ayat ini, Allah s.w.t. mengingatkan bahwa musyawarah adalah sesuatu yang setara dengan ibadah ritual. Bahkan Allah lalu menyematkan musyawarah dalam perintah-Nya yang menyebutkan hal-hal wajib: shalat, musyawarah, dan infak.
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat kita simpulkan bahwa sebuah masyarakat yang mengabaikan musyawarah sebagai landasan hidup, tidak dapat disebut sebagai masyarakat yang sempurna keimanannya kepada Allah. Sebagaimana dapat pula kita katakan bahwa sebuah masyarakat yang mengabaikan prinsip musyawarah, tidak dapat disebut sebagai masyarakat muslim yang seutuhnya.
Dalam agama Islam, musyawarah adalah sebuah landasan hidup yang harus dipegang teguh baik oleh para pemimpin maupun oleh rakyat jelata. Para pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menerapkan musyawarah dalam kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan berbagai hal yang berhubungan dengan masyarakat luas. Sementara rakyat memiliki tanggung jawab untuk menjadikan musyawarah sebagai wahana penyampaian aspirasi mereka kepada penguasa.
Di dalam Islam, prinsip musyawarah telah menjadi seperti sebuah sistem. Musyawarah adalah salah satu hal utama bagi kekuatan dan kelestarian gerakan apapun. Musyawarah adalah elemen terpenting yang dibutuhkan untuk mengurai suatu masalah, baik yang berhubungan dengan individu maupun masyarakat banyak, rakyat maupun negara, ilmu maupun pengetahuan umum, perekonomian maupun sosial-kemasyarakatan, dan berbagai hal lainnya selama tidak ada dalil nas yang secara gamblang menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi itu.
Dalam ajaran Islam, lembaga permusyawarahan yang ada dalam sebuah negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kekuasan eksekutif. Lembaga itulah yang bertugas mengarahkan setiap kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau seorang kepala pemerintahan. Tapi dalam sistem kenegaraan yang diterapkan oleh Republik Turki saat ini justru kita melihat lembaga permusyawarahan justru amat dibatasi kekuasaannya serta tidak memiliki ruang gerak yang luas hingga jauh dari hakikat lembaga permusyawarahan yang diajarkan oleh Islam.
Menurut ajaran Islam, kepala negara adalah seorang pemimpin tertinggi yang harus selalu berpegang pada prinsip musyawarah, termasuk seandainya pun pemimpin yang bersangkutan adalah pilihan Allah yang dibimbing langsung oleh wahyu Ilahi. Demikian itulah yang terjadi dalam sistem pemerintahan Islam di masa lalu hingga sekarang.
Kalaupun ternyata terjadi berbagai bentuk pengabaian terhadap sistem musyawarah di sana sini, tapi telah jelas terbukti bahwa semua bangsa dan masyarakat pasti menerapkan sistem musyawarah meski dengan berbagai bentuk dan istilah yang berbeda-beda. Karena negara manapun yang mengabaikan sistem musyawarah pasti akan terguncang tatanannya. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak akan merugi orang yang beristikharah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah." Singkatnya, kejayaan dan masa depan suatu bangsa bergantung pada baik buruknya sistem musyawarah yang diterapkan oleh bangsa yang bersangkutan.
Di dalam al-Qur`an, kata syûrâ disebutkan secara eksplisit di dua ayat berbeda, sementara di banyak ayat lain terdapat penjelasan tentang musyawarah secara implisit. Kedua ayat yang secara terang-terangan menyebut kata syûrâ –sehingga tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan lagi- itu adalah firman Allah s.w.t.: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." yang terdapat dalam surah Âli Imrân ayat 159, dan firman Allah: "...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..." yang terdapat dalam surah al-Syûrâ ayat 38 yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Demikianlah yang telah Allah firmankan dalam al-Qur`an sebagaimana kita juga harus menyadari bahwa di balik penamaan salah satu surah dalam al-Qur`an dengan kata "syûrâ" tentu mengandung hikmah yang luar biasa.
Di dalam surah asy-Syûrâ, kata syûrâ digunakan untuk menjelaskan karakter para sahabat Rasulullah yang mendapatkan pujian dari Allah. Jadi dari ayat ini kita dapat menangkap kesan bahwa Allah tidak ragu untuk memuji para sahabat Rasulullah yang menjadikan musyawarah sebagai titik sentral dari segala tindakan dan urusan mereka. Dengan adanya pujian Allah yang ditujukan kepada para sahabat yang berpegang teguh pada prinsip musyawarah, hal ini tentu membuktikan bahwa musyawarah adalah sebuah perkara yang sangat penting.
Selain itu, al-Qur`an juga menjadikan musyawarah sebagai salah satu prinsip yang memiliki posisi sangat penting. Sebagaimana halnya Sunnah Rasulullah s.a.w. juga memberi perhatian besar terhadap prinsip musyawarah, hingga kita temukan sekian banyak nas yang menjelaskan tentang musyawarah. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri selalu melaksanakan musyawarah dengan para sahabat beliau ketika menghadapi masalah yang tidak dijelaskan oleh nas. Beliau tidak pernah ragu untuk bermusyawarah dengan semua lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita, baik tua maupun muda. Pada masa selanjutnya, ketika kemajuan mulai terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, ternyata kita justru tidak mampu menandingi kualitas musyawarah seperti yang dulu dicapai oleh kalangan muslim awal.
Musyawarah
 
Hikmah
 
                                                                     
Sistem Perwakilan
 
Untuk menerapkan musyawarah di Indonesia, maka tidak mungkin seluruh rakyat Indonesia berkumpul untuk menentukan keputusan dalam menghadapi setiap permasalahan yang menimpa negara ini. Maka dari itu, perlu diadakan perwakilan dari setiap daerah untuk mewakili suara mereka. Dan dari situlah sistem perwakilan mulai digunakan. Namun selain itu, keputusan yang dihasilkan dari musyawarah tidak boleh menyimpang dari al hikmah dan harus berdasarkan hukum Allah, yaitu al-Quran dan as-sunah.
5.      Perbedaan antara Demokrasi dengan Musyawarah sehingga menciptakan sistem Perwakilan
Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan pengambilan keputusan terkait dengannya. Pendapat majelis syura sekedar bersifat konsultatif, karenanya menjadi relative dan tidak mengikat sesuai keinginan penguasa. Kewajiban seorang penguasa hanyalah dalam hal melaksanakan musyawarah, bukan mengambil pendapat mereka. Tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil pun dipikul penguasa itu sendiri, sedangkan mereka yang diminta pendapat dalam musyawarah tidak bertanggung jawab sama sekali. Selain itu, syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas,seperti dikenal dalam konsep demokrasi absolut,dan tidak memberikan batas mengenai kuantitas, kualitas, ruang maupun waktunya. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku. Ada kalanya pemimpin (penguasa)mengambil sebagian pendapat majelis syura, keseluruhan atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang diketengahkan majelis syura. Hal-hal inilah yang menjadi karakteristik inti konsep syura di dunia islam,yang hampir tidak sedikit pun memiliki kesamaan dengan demokrasi barat (demokrasi absolut).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura’ dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura’ berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah Al Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat (Syura’ bukan Demokrasi karya M. Shiddiq Al Jawi). Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi saat ini sudah banyak diperbincangkan bahkan diagung-agungkan yang katanya sebagai solusi dari suatu permasalahan. Banyak orang berpendapat bahwa  demokrasi itu sebuah kebebasan berpendapat setiap individu. Tapi pendapat yang bagaimana? Menurut pengetahuan yang saya dapat, memang benar demokrasi itu sebuah kebebasan setiap individu, meskipun individu tersebut orang awam artinya orang tersebut tidak mengerti masalah yang sedang dihadapi, dan dia seakan-akan dipaksa untuk memberikan pendapatnya, secara otomatis pasti dia memberikan pendapat sesuka hatinya, meskipun pendapatnya itu bertentangan dengan agama. Kalo udah kayak gitu, apakah demokrasi itu sejalan dengan ajaran agama kita yakni agama Islam? Dan apakah demokrasi akan membawa kejayaan untuk Islam?
Pemungutan suara atau biasa disebut dengan voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik dalam sebuah negara maupun dalam sebuah perkumpulan biasa, di dalam mengambil sebuah sikap atau dalam memilih seorang pimpinan dan lain-lain. Cara ini sudah menjadi sesuatu yang gak asing lagi di mata kita, karena semua permasalahan diselesaikan dengan cara mengambil suara mayoritas atau dengan pemungutan suara itu. Dengan pemungutan suara secara otomatis siapa saja / masyarakat umum bisa dilibatkan di sini. Padahal kan banyak diantara masyarakat itu gak tau. Dan dalam memilih seorang pemimpin umat pun cara itulah yang digunakan, walaupun orang itu tidak tahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.
Pemungutan suara atau voting boleh digunakan dalam pengambilan sebuah sikap atau keputusan, tapi tidak untuk menentukan pemimpin umat. Sebab, ini menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara yang cakupannya sangat luas. Kenapa saya menganggap voting itu dibolehkan dalam pengambilan sebuah keputusan atau sikap? Karena pada zaman Nabi Muhammad SAW. banyak sekali bentuk praktek voting di zaman Nabi Muhammad SAW., yang intinya memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam pengambilan keputusan.
Misalnya, ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang Uhud. Sebagian kecil sahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan sahabat, terutama yang muda-muda dan belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka. Maka Rasulullah SAW pun ikut pendapat mayoritas, meski beliau sendiri tidak termasuk yang mendukungnya.
Sebelumnya dalam perang Badar, juga Rasulullah SAW memutuskan untuk mengambil suara terbanyak, tentang masalah tawanan perang. Umumnya pendapat menginginkan tawanan perang, bukan membunuhnya. Hanya Umar bin Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak umat Islam minta tebusan tawanan, sementara perang masih berlangsung. Tetapi, kesemuanya itu tetap dilakukan dengan cara musyawarah terlebih dahulu, tidak seenaknya menentukan keputusan.
Setelah kita melihat contoh-contoh pada zaman Rasulullah SAW, menggunakan voting sebagai pemutusan sebuah sikap, tetapi bukan untuk menentukan seorang pemimpin umat. Apa yang terjadi di Negara kita? Negara ini menggunakan voting sebagai penentu untuk menentukan siapa pemimpin Negara, Daerah, dll. Jadi, voting hanya boleh dipakai untuk menentukan sikap atau keputusan yang tidak bersinggungan dengan syariah (aqidah).
Arti dari Pemungutan suara (PEMILU) itu sendiri adalah pemilihan pemimpin dengan cara mencatat nama yang dipilih atau dengan mencoblos salah satu calon yang diinginkan (disuka) atau dengan kata lain voting. Pemungutan suara ini, meskipun memiliki arti: pemberian hak pilih, tapi tidak perlu digunakan dalam pemilihan pemimpin, apalagi ini dalam menentukan pemimpin umat yang cakupannya lebih besar.
Cara itulah yang digunakan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. Dengan pemungutan suara (demokrasi) menentukan seorang pemimpin dengan pelaksanaannya yang dinamakan dengan PEMILU (Pemilihan Umum), seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan pemilu, seluruh rakyat memilih calon pemimpin negara (yang dikasih nama Presiden itu). Jadi, seluruh warga baik yang awam maupun yang cerdas atau yang berpendidikan, berhak menentukan pemimpinnya yang nantinya dia yang menjalankan roda pemerintahan di negara tersebut. Kekuasaan atau kedaulatan itu semuanya berada di tangan rakyat secara mutlak.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa saja seseorang yang tidak layak menjadi pemimpin (Pemabuk, Koruptor, Pemerkosa, dll) keluar menjadi pemenangnya, lalu bagaimana nasib negara ini kalau yang menjadi pemimpin itu pemabuk, koruptor, pemerkosa atau memiliki kelakuan yang menyimpang dari ajaran islam??? Sedangkan yang pantas dan berhak menjadi pemimpin ada yang tersingkir atau bahkan tidak dipandang sama sekali.
Sedangkan dalam Islam metode pemungutan suara ini tidak dibenarkan (penentuan seorang pemimpin ummat), yang digunakan adalah metode musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa kedaulatan itu bukan berada di tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah SWT dan Rasul-Nya dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman:
Surat Al-Ahzab: 36 yang artinya: “Dan tidaklah patut laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh di telah sesat, sesat yang nyata.”
Surat An-Nisaa: 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil”.
Surat An-Nisaa itu pun menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin atau memberi amanat itu hanya kepada yang mampu menerima dan melaksanakan amanat tersebut, artinya dia mampu dan termasuk dalam kriteria seorang pemimpin yang dimaksudkan Islam tadi.
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang sangat agung, yang menyangkut tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Oleh karena itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menerimanya menurut pandangan syari’at. Proses pemungutan suara bukanlah cara yang tepat untuk penyerahan amanat tersebut. Karena cara itu tidak bisa menjamin kalo amanat itu tersampaikan kepada yang berhak. Bahkan di lapangan pun telah terbukti kalo yang menerima amanat itu bukan orang-orang yang berhak menerimanya, misalnya saja seorang pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil sebuah kebijakan, sebab di dalam Islam itu seorang pemimpin itu harus tegas dalam menentukan kebijakan atau keputusan-keputusan; dan bisa saja pemimpin tersebut adalah seorang KORUPTOR.
Pemimpin Negara (Kepala Negara), menurut Al-Baqillani, harus berilmu pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak adil dalam segala urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam segala tindakannya itu harus bertujuan untuk melaksanakan “Syari’at Islam”. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai dengan “Syari’at Islam”.
Tidak berbeda dari Al-Baqillani, Al-Baghdadi menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak memegang jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut:
1)       Berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan lainnya;
2)       Bersifat jujur dan saleh;
3)       Bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan”.
Jadi, sudah jelas dari kedua kelompok di atas tadi menjelaskan bahwa syarat menjadi seorang pemimpin negara itu adalah harus orang yang memiliki ilmu pengetahuan, minimalnya dia harus tahu apakah undang-undang yang dibuatnya tidak keluar dari batas-batas hukum agama Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kita lihat di Indonesia saat ini, apakah undang-undang kita masih dalam batas-batas yang telah dibatasi oleh pedoman agama kita yakni Al-Qur’an dan Hadits? Menurut kaca mata saya, undang-undang yang diterapkan di negara ini sudah melenceng dari Al-Qur’an dan Hadits, contohnya saja penjualan minuman keras masih merajalela bahkan dibiarkan beroperasi. Dan yang lebih parah lagi, pemilihan seorang pemimpin (kepala negara) dilaksanakan dengan cara pemungutan suara, padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu. justru islam mengajarkan bahwa dalam penentuan seorang pemimpin itu dilaksanakan dengan cara bermusyawarah. Sebenarnya bukan keluar dari Al-Qur’an dan Hadits saja, demokrasi pun sudah tidak sesuai lagi dengan pedoman hidup negara kita yakni Pancasila. Seperti yang tercantum dalam sila ke 4 : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”. Disini dikatakan bahwa “kebijaksanaan dalam permusyawaratan” bukanlah “kebijaksanaan dalam demokrasi”. Jadi, jelas sekali ternyata demokrasi bukan hanya tidak sesuai dengan pedoman agama kita (Al-Qur’an dan Hadits), tetapi dengan Pancasila pun sudah tidak sesuai.
Sebenarnya Pancasila yang ada di negara kita ini sudah benar, sebab isi silanya itu merupakan isi yang sesuai dengan ajaran agama Islam, isinya itu tidak keluar dari pagar pembatas Al-Qur’an dan Hadits.
Jika dalam demokrasi itu nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah itu tidak dianggap, tapi yang dianggap dan dijadikan acuan dalam demokrasi ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah sumber hukum dalam setiap permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang mendefinisikan demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut dengan nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara Musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala Demokrasi, yakni perbedaan itu diantaranya:
  1. Dalam musyawarah mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas
  2. Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
  3. Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengenai masalah para wakil rakyat, Islam punya kriteria tersendiri bagi orang-orang yang duduk di Majelis Syuro. Ada tiga syarat, yaitu:
  1. Sifat adil terhadap siapa saja dan senantiasa memelihara wibawa dan nama bik;
  2. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara (ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk diangkat menjadi Imam (Kepala Negara); dan
  3. Wawasan luas dan kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai alternatif serta memilih yang terbaik untuk umat sesuai dengna kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat membahayakannya.
Dan disamping hal tersebut juga perlu diperhatikan bahwa ia juga harus senantiasa memperhatikan tradisi yang ada di masyarakat itu sendiri. Jadi, para wakil rakyat harus memperhatikan tradisi atau budaya yang terdapat dalam masyarakat yang sedang diwakili oleh wakil rakyat itu. Dengan adanya ketiga syarat itu, diharapkan para wakil rakyat itu akan dapat mewakili kamuan dan kehendak rakyat yang diwakilinya.
Perbedaan demokrasi dengan syuro yang diibaratkan bagaikan langit dan bumi. Perbedaan itu, ialah:
1)   Syuro adalah aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan demokrasi adalah hasil karya manusia yang serba kekurangan yang selalu diombang-ambing oleh hawa nafsu dan emosi.
2)   Syuro adalah bagian dari syarai’at Allah SWT, dien-Nya dan hukum-Nya, sedangkan demokrasi adalah penentangan terhadap hukum Allah SWT.
3)   Syuro dilakukan dalam masalah yang tidak ada nash di dalamnya, adapun dalam masalah yang sudah ada nashya maka tidak ada syuro.
Jadi, di point ketiga disebutkan bahwa syuro itu sendiri jika digunakan dalam suatu masalah itu tidak ada nash di dalamnya, baru diadakan syuro. Dan orang-orang yang berada di dalamnya itu pun harus orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dan jika masalah itu sudah ada nash nya, maka syuro itu pun tidak berlaku. Jadi, penyelesaiannya itu dengan cara mengikuti hukum yang sudah diturunkan oleh Allah SWT yakni Al-Qur’an dan Hadits. Karena yang menentukan hukum itu bukanlah manusia, tetapi manusia lah yang wajib mentaati aturan yang diturunkan oleh Allah SWT, Rasul-Nya dan kemudian kepada pemimpin kaum muslimin.
Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura’ dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :
a.       Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa (Mabadi Nizham Al Hukm fi Al Islam hlm. 489). Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).
b.      Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah. Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).
c.       Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam Al Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at (An Nazhariyaat as-Siyaasiyah Al Islamiyah hlm. 338).
d.      Kewenangan majelis syura’ dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura’ terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura’ tidak lagi diperlukan. Syura’ hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at. Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah (Fath Al Baari 3/3291). Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan (Asy Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).
e.       Syura’ yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat. Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas (Asy Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).
f.       Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
g.      Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh majelis syura’. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada. Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas (Fiqh asy-Syura’ wal Al Istisyarah hlm. 12).
h.      Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura’, rakyat tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin (Asy Syura’ la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32).
i.        Syura’ bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan Al haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran (Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32).
j.        Kriteria ahli syura’ sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura’, beliau mengatakan, “Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah (Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats Al Umam hlm. 33). Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya, “Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” (HR. Muslim: 974). Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari  kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam (‘Umdat at-Tafsir 1/383-384).
k.      Ahli syura’ mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura’ bergantung pada maslahat yang dipandangnya (Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah 112). Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.
l.        Apabila terdapat nash syar’i dari Al Quran dan hadits, maka ahli syura’ wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.
Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas Al Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.
Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Gharbiyyah hlm. 32).
Meskipun ada persamaan antara syura’ dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura’ adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.Wallahu Al Muwaffiq.



Daftar Pustaka
http://www.selamatkan-indonesiaku.net.
http://syahri93.blogspot.com/2013/07/makna-sila-ke-4-pancasila.html


Hubungan Alhikmah, Musyawarah, dan Sistem Perwakilan serta Makna Sila Keempat
Diajukan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
Description: C:\Users\ucer\Pictures\Hari Kebesaran Bella\download.jpg
Oleh:
SitiBadriyah
2225141011
Kelas: I A

Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar