Hubungan Alhikmah, Musyawarah, dan Sistem Perwakilan serta Makna
Sila Keempat
Banyak yang memaknai sila keempat Pancasila itu sendiri yang
menyiratkan adanya sistem demokrasi. Karena menurut mereka jika diperinci lebih
dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan,
permusyawaratan dan kedaulatan rakyat.
Namun sebenarnya, sila keempat
tersebut bukanlah menyiratkan tentang sistem demokrasi akan tetapi yang dianut
Indonesia adalah musyawarah melalui sistem perwakilan. Karena Nabi Muhammad dan
para sahabatnya telah menerapkannya dalam memutuskan perkara besar mengenai
ummat.
Diantaranya ketika perang Uhud, perang Badar hingga saat menentukan
khalifah pengganti Rasulullah pun para sahabat memusyawarahkannya terlebih
dahulu. Untuk lebih jelasnya kita pahami terlebih dahulu point-point yang
terkandung dalam sila keempat.
1.
Al-Hikmah
Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang
sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan
rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong
oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani.
Dalam
kosa kata bahasa Indonesia, kata Hikmah
mempunyai beberapa arti. Pertama, kebijaksanaan dari Allah. Kedua,
sakti atau kesaktian (kekuatan ghaib). Ketiga, arti atau makna yang dalam. Keempat,
manfaat.
Sekarang
marilah kita simak definisi ilmu al-Hikmah secara lengkap yang meliputi
definisi secara bahasa, istilah syari’at dan pendapat para ulama tafsir dalam
masalah ini. Menurut kamus bahasa Arab, al-Hikmah mempunyai banyak arti.
Diantaranya kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan,
filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur’anul
karim.
Al-Hikmah juga bermakna kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu
membuat pemiliknya menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional). Al-Hikmah
juga merupakan ungkapan dari perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang
tepat dan dengan cara yang tepat pula.
2.
Musyawarah
Menurut bahasa, musyawarah atau syura’ memiliki
dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu
(Mu’jam Maqayis Al Lughah 3/226). Sedangkan secara istilah, beberapa
ulama terdahulu telah memberikan definisi syura’, diantara mereka adalah Ar
Raghib Al Ashfahani yang mendefinisikan syura’ sebagai proses mengemukakan
pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura’ (Al Mufradat fi Gharib
Al Quran hlm. 207).
Ibnu Al Arabi Al Maliki mendefinisikannya
dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana
peserta syura’ saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki (Ahkam Al Quran
1/297). Sedangkan definisi syura’ yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer
diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu
permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran (Asy Syura’ fi
Zhilli Nizhami Al Hukm Al Islami hlm. 14).
Dari berbagai definisi yang disampaikan di
atas, kita dapat mendefinisikan syura’ sebagai proses memaparkan berbagai
pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara
atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat
mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang
diharapkan dapat terealisasikan (Asy Syura’ fi Al Kitab wa as-Sunnah
hlm. 13).
Permusyawaratan
adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau
memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat hingga tercapai keputusan yang
berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat.
3.
Sistem
Perwakilan
Perwakilan adalah suatu sistem arti tata cara (prosedur)
mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara,
antara lain dilakukan dengan melalui badan-badan perwakilan. Jadi, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
berarti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui system perwakilan
dan keputusan-keputusannya diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh
pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa
maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
4.
Hubungan antara
Hikmah, Musyawarah dan Sistem Perwakilan
Di dalam
al-Qur`an, musyawarah menjadi indikator terpenting yang menunjukkan kualitas
keimanan pada suatu masyarakat serta menjadi karakter utama yang melekat pada
semua komunitas yang mempersembahkan hidup mereka demi kejayaan agama Islam.
Di dalam al-Qur`an,
musyawarah disandingkan sejajar dengan shalat dan infak. Allah SWT berfirman:
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka." (QS al-Syûrâ [42]: 38).
Lewat ayat
ini, Allah s.w.t. mengingatkan bahwa musyawarah adalah sesuatu yang setara
dengan ibadah ritual. Bahkan Allah lalu menyematkan musyawarah dalam
perintah-Nya yang menyebutkan hal-hal wajib: shalat, musyawarah, dan infak.
Berdasarkan
penjelasan ini, maka dapat kita simpulkan bahwa sebuah masyarakat yang
mengabaikan musyawarah sebagai landasan hidup, tidak dapat disebut sebagai
masyarakat yang sempurna keimanannya kepada Allah. Sebagaimana dapat pula kita
katakan bahwa sebuah masyarakat yang mengabaikan prinsip musyawarah, tidak
dapat disebut sebagai masyarakat muslim yang seutuhnya.
Dalam agama
Islam, musyawarah adalah sebuah landasan hidup yang harus dipegang teguh baik
oleh para pemimpin maupun oleh rakyat jelata. Para pemimpin memiliki tanggung
jawab untuk menerapkan musyawarah dalam kebijakan politik, pemerintahan, hukum,
dan berbagai hal yang berhubungan dengan masyarakat luas. Sementara rakyat
memiliki tanggung jawab untuk menjadikan musyawarah sebagai wahana penyampaian
aspirasi mereka kepada penguasa.
Di dalam
Islam, prinsip musyawarah telah menjadi seperti sebuah sistem. Musyawarah
adalah salah satu hal utama bagi kekuatan dan kelestarian gerakan apapun. Musyawarah
adalah elemen terpenting yang dibutuhkan untuk mengurai suatu masalah, baik
yang berhubungan dengan individu maupun masyarakat banyak, rakyat maupun
negara, ilmu maupun pengetahuan umum, perekonomian maupun
sosial-kemasyarakatan, dan berbagai hal lainnya selama tidak ada dalil nas yang
secara gamblang menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi itu.
Dalam ajaran
Islam, lembaga permusyawarahan yang ada dalam sebuah negara memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dibandingkan kekuasan eksekutif. Lembaga itulah yang bertugas
mengarahkan setiap kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau seorang kepala
pemerintahan. Tapi dalam sistem kenegaraan yang diterapkan oleh Republik Turki
saat ini justru kita melihat lembaga permusyawarahan justru amat dibatasi kekuasaannya
serta tidak memiliki ruang gerak yang luas hingga jauh dari hakikat lembaga
permusyawarahan yang diajarkan oleh Islam.
Menurut
ajaran Islam, kepala negara adalah seorang pemimpin tertinggi yang harus selalu
berpegang pada prinsip musyawarah, termasuk seandainya pun pemimpin yang
bersangkutan adalah pilihan Allah yang dibimbing langsung oleh wahyu Ilahi.
Demikian itulah yang terjadi dalam sistem pemerintahan Islam di masa lalu
hingga sekarang.
Kalaupun
ternyata terjadi berbagai bentuk pengabaian terhadap sistem musyawarah di sana
sini, tapi telah jelas terbukti bahwa semua bangsa dan masyarakat pasti
menerapkan sistem musyawarah meski dengan berbagai bentuk dan istilah yang
berbeda-beda. Karena negara manapun yang mengabaikan sistem musyawarah pasti
akan terguncang tatanannya. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak akan merugi
orang yang beristikharah dan tidak akan menyesal orang yang
bermusyawarah." Singkatnya, kejayaan dan masa depan suatu bangsa
bergantung pada baik buruknya sistem musyawarah yang diterapkan oleh bangsa
yang bersangkutan.
Di dalam
al-Qur`an, kata syûrâ disebutkan secara eksplisit di dua ayat berbeda,
sementara di banyak ayat lain terdapat penjelasan tentang musyawarah secara
implisit. Kedua ayat yang secara terang-terangan menyebut kata syûrâ –sehingga
tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan lagi- itu adalah firman Allah s.w.t.:
"...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." yang
terdapat dalam surah Âli Imrân ayat 159, dan firman Allah: "...sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..." yang
terdapat dalam surah al-Syûrâ ayat 38 yang telah dijelaskan pada bagian
terdahulu. Demikianlah yang telah Allah firmankan dalam al-Qur`an sebagaimana
kita juga harus menyadari bahwa di balik penamaan salah satu surah dalam
al-Qur`an dengan kata "syûrâ" tentu mengandung hikmah yang luar
biasa.
Di dalam
surah asy-Syûrâ, kata syûrâ digunakan untuk menjelaskan karakter para sahabat
Rasulullah yang mendapatkan pujian dari Allah. Jadi dari ayat ini kita dapat
menangkap kesan bahwa Allah tidak ragu untuk memuji para sahabat Rasulullah
yang menjadikan musyawarah sebagai titik sentral dari segala tindakan dan
urusan mereka. Dengan adanya pujian Allah yang ditujukan kepada para sahabat
yang berpegang teguh pada prinsip musyawarah, hal ini tentu membuktikan bahwa
musyawarah adalah sebuah perkara yang sangat penting.
Selain itu,
al-Qur`an juga menjadikan musyawarah sebagai salah satu prinsip yang memiliki
posisi sangat penting. Sebagaimana halnya Sunnah Rasulullah s.a.w. juga memberi
perhatian besar terhadap prinsip musyawarah, hingga kita temukan sekian banyak
nas yang menjelaskan tentang musyawarah. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri
selalu melaksanakan musyawarah dengan para sahabat beliau ketika menghadapi
masalah yang tidak dijelaskan oleh nas. Beliau tidak pernah ragu untuk
bermusyawarah dengan semua lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita, baik
tua maupun muda. Pada masa selanjutnya, ketika kemajuan mulai terjadi dalam
berbagai bidang kehidupan, ternyata kita justru tidak mampu menandingi kualitas
musyawarah seperti yang dulu dicapai oleh kalangan muslim awal.



|
|


|

Untuk
menerapkan musyawarah di Indonesia, maka tidak mungkin seluruh rakyat Indonesia
berkumpul untuk menentukan keputusan dalam menghadapi setiap permasalahan yang
menimpa negara ini. Maka dari itu, perlu diadakan perwakilan dari setiap daerah
untuk mewakili suara mereka. Dan dari situlah sistem perwakilan mulai
digunakan. Namun selain itu, keputusan yang dihasilkan dari musyawarah tidak
boleh menyimpang dari al hikmah dan harus berdasarkan hukum Allah, yaitu
al-Quran dan as-sunah.
5.
Perbedaan
antara Demokrasi dengan Musyawarah sehingga menciptakan sistem Perwakilan
Syura merupakan konsep politik yang tidak
mengharuskan pengambilan keputusan terkait dengannya. Pendapat majelis syura
sekedar bersifat konsultatif, karenanya menjadi relative dan tidak mengikat
sesuai keinginan penguasa. Kewajiban seorang penguasa hanyalah dalam hal
melaksanakan musyawarah, bukan mengambil pendapat mereka. Tanggung jawab
terhadap keputusan yang diambil pun dipikul penguasa itu sendiri, sedangkan
mereka yang diminta pendapat dalam musyawarah tidak bertanggung jawab sama
sekali. Selain itu, syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas,seperti
dikenal dalam konsep demokrasi absolut,dan tidak memberikan batas mengenai kuantitas,
kualitas, ruang maupun waktunya. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku. Ada
kalanya pemimpin (penguasa)mengambil sebagian pendapat majelis syura, keseluruhan
atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang diketengahkan majelis
syura. Hal-hal inilah yang menjadi karakteristik inti konsep syura di dunia
islam,yang hampir tidak sedikit pun memiliki kesamaan dengan demokrasi barat
(demokrasi absolut).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini
berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura’ dan demokrasi
mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi
antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura’ berarti meminta pendapat (thalab
ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam
Islam dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham
as-Siyasah Al Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan
kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem
pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat (Syura’ bukan
Demokrasi karya M. Shiddiq Al Jawi). Dengan demikian, yang tepat adalah ketika
kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu
sendiri.
Demokrasi saat ini sudah banyak diperbincangkan
bahkan diagung-agungkan yang katanya sebagai solusi dari suatu permasalahan.
Banyak orang berpendapat bahwa demokrasi
itu sebuah kebebasan berpendapat setiap individu. Tapi pendapat yang bagaimana?
Menurut pengetahuan yang saya dapat, memang benar demokrasi itu sebuah
kebebasan setiap individu, meskipun individu tersebut orang awam artinya orang
tersebut tidak mengerti masalah yang sedang dihadapi, dan dia seakan-akan
dipaksa untuk memberikan pendapatnya, secara otomatis pasti dia memberikan
pendapat sesuka hatinya, meskipun pendapatnya itu bertentangan dengan agama.
Kalo udah kayak gitu, apakah demokrasi itu sejalan dengan ajaran agama kita
yakni agama Islam? Dan apakah demokrasi akan membawa kejayaan untuk Islam?
Pemungutan suara atau biasa disebut dengan
voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik
dalam sebuah negara maupun dalam sebuah perkumpulan biasa, di dalam mengambil
sebuah sikap atau dalam memilih seorang pimpinan dan lain-lain. Cara ini sudah
menjadi sesuatu yang gak asing lagi di mata kita, karena semua permasalahan diselesaikan
dengan cara mengambil suara mayoritas atau dengan pemungutan suara itu. Dengan
pemungutan suara secara otomatis siapa saja / masyarakat umum bisa dilibatkan
di sini. Padahal kan banyak diantara masyarakat itu gak tau. Dan dalam memilih
seorang pemimpin umat pun cara itulah yang digunakan, walaupun orang itu tidak
tahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.
Pemungutan suara atau voting boleh digunakan
dalam pengambilan sebuah sikap atau keputusan, tapi tidak untuk menentukan
pemimpin umat. Sebab, ini menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara yang
cakupannya sangat luas. Kenapa saya menganggap voting itu dibolehkan dalam
pengambilan sebuah keputusan atau sikap? Karena pada zaman Nabi Muhammad SAW.
banyak sekali bentuk praktek voting di zaman Nabi Muhammad SAW., yang intinya
memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam pengambilan keputusan.
Misalnya, ketika musyawarah menentukan sikap
dalam menghadapi perang Uhud. Sebagian kecil sahabat punya pendapat sebaiknya
bertahan di Madinah, namun kebanyakan sahabat, terutama yang muda-muda dan
belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong
lawan di medan terbuka. Maka Rasulullah SAW pun ikut pendapat mayoritas, meski
beliau sendiri tidak termasuk yang mendukungnya.
Sebelumnya dalam perang Badar, juga Rasulullah
SAW memutuskan untuk mengambil suara terbanyak, tentang masalah tawanan perang.
Umumnya pendapat menginginkan tawanan perang, bukan membunuhnya. Hanya Umar bin
Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak umat Islam minta tebusan tawanan,
sementara perang masih berlangsung. Tetapi, kesemuanya itu tetap dilakukan
dengan cara musyawarah terlebih dahulu, tidak seenaknya menentukan keputusan.
Setelah kita melihat contoh-contoh pada zaman
Rasulullah SAW, menggunakan voting sebagai pemutusan sebuah sikap, tetapi bukan
untuk menentukan seorang pemimpin umat. Apa yang terjadi di Negara kita? Negara
ini menggunakan voting sebagai penentu untuk menentukan siapa pemimpin Negara,
Daerah, dll. Jadi, voting hanya boleh dipakai untuk menentukan sikap atau
keputusan yang tidak bersinggungan dengan syariah (aqidah).
Arti dari Pemungutan suara (PEMILU) itu sendiri
adalah pemilihan pemimpin dengan cara mencatat nama yang dipilih atau dengan
mencoblos salah satu calon yang diinginkan (disuka) atau dengan kata lain
voting. Pemungutan suara ini, meskipun memiliki arti: pemberian hak pilih, tapi
tidak perlu digunakan dalam pemilihan pemimpin, apalagi ini dalam menentukan
pemimpin umat yang cakupannya lebih besar.
Cara itulah yang digunakan oleh negara
demokrasi seperti Indonesia. Dengan pemungutan suara (demokrasi) menentukan
seorang pemimpin dengan pelaksanaannya yang dinamakan dengan PEMILU (Pemilihan
Umum), seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan pemilu, seluruh rakyat
memilih calon pemimpin negara (yang dikasih nama Presiden itu). Jadi, seluruh
warga baik yang awam maupun yang cerdas atau yang berpendidikan, berhak
menentukan pemimpinnya yang nantinya dia yang menjalankan roda pemerintahan di
negara tersebut. Kekuasaan atau kedaulatan itu semuanya berada di tangan rakyat
secara mutlak.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa saja
seseorang yang tidak layak menjadi pemimpin (Pemabuk, Koruptor, Pemerkosa, dll)
keluar menjadi pemenangnya, lalu bagaimana nasib negara ini kalau yang menjadi
pemimpin itu pemabuk, koruptor, pemerkosa atau memiliki kelakuan yang
menyimpang dari ajaran islam??? Sedangkan yang pantas dan berhak menjadi
pemimpin ada yang tersingkir atau bahkan tidak dipandang sama sekali.
Sedangkan dalam Islam metode pemungutan suara
ini tidak dibenarkan (penentuan seorang pemimpin ummat), yang digunakan adalah
metode musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa kedaulatan itu bukan berada di
tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah SWT dan Rasul-Nya dan berpegang
teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman:
Surat Al-Ahzab: 36 yang artinya: “Dan
tidaklah patut laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh di telah sesat, sesat yang nyata.”
Surat An-Nisaa: 58 yang artinya: “Sesungguhnya
Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya
dengan adil”.
Surat An-Nisaa itu pun menjelaskan bahwa dalam
menentukan pemimpin atau memberi amanat itu hanya kepada yang mampu menerima
dan melaksanakan amanat tersebut, artinya dia mampu dan termasuk dalam kriteria
seorang pemimpin yang dimaksudkan Islam tadi.
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang sangat
agung, yang menyangkut tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Oleh karena itu
amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menerimanya menurut pandangan
syari’at. Proses pemungutan suara bukanlah cara yang tepat untuk penyerahan
amanat tersebut. Karena cara itu tidak bisa menjamin kalo amanat itu
tersampaikan kepada yang berhak. Bahkan di lapangan pun telah terbukti kalo
yang menerima amanat itu bukan orang-orang yang berhak menerimanya, misalnya
saja seorang pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil sebuah kebijakan,
sebab di dalam Islam itu seorang pemimpin itu harus tegas dalam menentukan
kebijakan atau keputusan-keputusan; dan bisa saja pemimpin tersebut adalah
seorang KORUPTOR.
Pemimpin Negara (Kepala Negara), menurut
Al-Baqillani, harus berilmu pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para
hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan
hakim sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas
keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak adil dalam segala urusan,
berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang
bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam segala tindakannya
itu harus bertujuan untuk melaksanakan “Syari’at Islam”. Artinya dalam mengatur
kepentingan umat harus sesuai dengan “Syari’at Islam”.
Tidak berbeda dari Al-Baqillani, Al-Baghdadi
menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak memegang
jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut:
1)
Berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui
apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan
peraturan-peraturan lainnya;
2)
Bersifat jujur dan saleh;
3)
Bertindak adil dalam menjalankan segala tugas
pemerintahan dan berkemampuan”.
Jadi, sudah jelas dari kedua kelompok di atas
tadi menjelaskan bahwa syarat menjadi seorang pemimpin negara itu adalah harus
orang yang memiliki ilmu pengetahuan, minimalnya dia harus tahu apakah
undang-undang yang dibuatnya tidak keluar dari batas-batas hukum agama Islam
yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kita lihat di Indonesia saat ini,
apakah undang-undang kita masih dalam batas-batas yang telah dibatasi oleh
pedoman agama kita yakni Al-Qur’an dan Hadits? Menurut kaca mata saya,
undang-undang yang diterapkan di negara ini sudah melenceng dari Al-Qur’an dan
Hadits, contohnya saja penjualan minuman keras masih merajalela bahkan
dibiarkan beroperasi. Dan yang lebih parah lagi, pemilihan seorang pemimpin
(kepala negara) dilaksanakan dengan cara pemungutan suara, padahal Islam tidak
mengajarkan seperti itu. justru islam mengajarkan bahwa dalam penentuan seorang
pemimpin itu dilaksanakan dengan cara bermusyawarah. Sebenarnya bukan keluar
dari Al-Qur’an dan Hadits saja, demokrasi pun sudah tidak sesuai lagi dengan
pedoman hidup negara kita yakni Pancasila. Seperti yang tercantum dalam sila ke
4 : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan,
perwakilan”. Disini dikatakan bahwa “kebijaksanaan dalam permusyawaratan”
bukanlah “kebijaksanaan dalam demokrasi”. Jadi, jelas sekali ternyata demokrasi
bukan hanya tidak sesuai dengan pedoman agama kita (Al-Qur’an dan Hadits),
tetapi dengan Pancasila pun sudah tidak sesuai.
Sebenarnya Pancasila yang ada di negara kita
ini sudah benar, sebab isi silanya itu merupakan isi yang sesuai dengan ajaran
agama Islam, isinya itu tidak keluar dari pagar pembatas Al-Qur’an dan Hadits.
Jika dalam demokrasi itu nash-nash
syari’at dan hukum-hukum Allah itu tidak dianggap, tapi yang dianggap dan
dijadikan acuan dalam demokrasi ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah
sumber hukum dalam setiap permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang
mendefinisikan demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan
sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut dengan
nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara
adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara Musyawarah
mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala Demokrasi, yakni perbedaan
itu diantaranya:
- Dalam musyawarah mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas
- Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
- Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengenai masalah para wakil rakyat, Islam punya
kriteria tersendiri bagi orang-orang yang duduk di Majelis Syuro. Ada tiga
syarat, yaitu:
- Sifat adil terhadap siapa saja dan senantiasa memelihara wibawa dan nama bik;
- Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara (ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk diangkat menjadi Imam (Kepala Negara); dan
- Wawasan luas dan kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai alternatif serta memilih yang terbaik untuk umat sesuai dengna kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat membahayakannya.
Dan disamping hal tersebut juga perlu
diperhatikan bahwa ia juga harus senantiasa memperhatikan tradisi yang ada di
masyarakat itu sendiri. Jadi, para wakil rakyat harus memperhatikan tradisi
atau budaya yang terdapat dalam masyarakat yang sedang diwakili oleh wakil
rakyat itu. Dengan adanya ketiga syarat itu, diharapkan para wakil rakyat itu
akan dapat mewakili kamuan dan kehendak rakyat yang diwakilinya.
Perbedaan demokrasi dengan syuro yang
diibaratkan bagaikan langit dan bumi. Perbedaan itu, ialah:
1)
Syuro adalah aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan
demokrasi adalah hasil karya manusia yang serba kekurangan yang selalu
diombang-ambing oleh hawa nafsu dan emosi.
2)
Syuro adalah bagian dari syarai’at Allah SWT,
dien-Nya dan hukum-Nya, sedangkan demokrasi adalah penentangan terhadap hukum
Allah SWT.
3)
Syuro dilakukan dalam masalah yang tidak ada nash
di dalamnya, adapun dalam masalah yang sudah ada nashya maka tidak ada syuro.
Jadi, di point ketiga disebutkan bahwa syuro
itu sendiri jika digunakan dalam suatu masalah itu tidak ada nash di
dalamnya, baru diadakan syuro. Dan orang-orang yang berada di dalamnya itu pun
harus orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dan jika masalah itu sudah ada
nash nya, maka syuro itu pun tidak berlaku. Jadi, penyelesaiannya itu
dengan cara mengikuti hukum yang sudah diturunkan oleh Allah SWT yakni
Al-Qur’an dan Hadits. Karena yang menentukan hukum itu bukanlah manusia, tetapi
manusia lah yang wajib mentaati aturan yang diturunkan oleh Allah SWT,
Rasul-Nya dan kemudian kepada pemimpin kaum muslimin.
Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang
salah satu landasannya adalah syura’ dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam
poin-poin berikut :
a.
Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi
dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah
tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran
untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah
adanya kesatuan ras dan bahasa (Mabadi Nizham Al Hukm fi Al Islam hlm.
489). Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa
yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah
terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam
memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali
pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan
bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal
ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam
pandangan Islam (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).
b.
Sistem demokrasi hanya berusaha untuk
merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat
bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah
memperhatikan aspek ruhiyah. Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap
memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah
diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem
Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan
kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di
belakangnya (Asy Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Ghariyyah hlm. 25).
c.
Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang
kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau
pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat
dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan
tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem
Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala.
Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali
peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam
Al Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam
permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum
politik yang sesuai dengan syari’at (An Nazhariyaat as-Siyaasiyah Al
Islamiyah hlm. 338).
d.
Kewenangan majelis syura’ dalam Islam terikat
dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura’
terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau
permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki
beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan
dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura’ tidak lagi diperlukan. Syura’
hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at. Ibnu
Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak
terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum
mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak.
Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan
musyawarah (Fath Al Baari 3/3291). Adapun dalam demokrasi, kewenangan
parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun
sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan (Asy Syura’ wa Atsaruha
fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).
e.
Syura’ yang berlandaskan Islam senantiasa
terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena
itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai
perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang
akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat. Di sisi lain,
demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol
oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas (Asy
Syura’ wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428).
f.
Demokrasi memiliki kaitan erat dengan
eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran
Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
g.
Syari’at Islam telah menggariskan
batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh
majelis syura’. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada. Adapun
demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan
yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan
pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus
dengan slogan hukum mayoritas (Fiqh asy-Syura’ wal Al Istisyarah hlm. 12).
h.
Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas,
suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam
menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura’, rakyat tunduk dan
taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin (Asy
Syura’ la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32).
i.
Syura’ bertujuan untuk menghasilkan solusi yang
selaras dengan Al haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan
demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan
suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran (Hukm ad-Dimuqratiyah
hlm. 32).
j.
Kriteria ahli syura’ sangatlah berbeda dengan
kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi.
Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura’, beliau mengatakan, “Pertama,
memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan
bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki
karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan
jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari
kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi
pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang
menjadi topik musyawarah (Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah
fi I’dad Al ‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al
Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats Al Umam hlm.
33). Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang
sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku
maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir
mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan
dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah
dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah,
bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di
jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut
perihal mereka dalam sabdanya, “Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf
shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” (HR. Muslim: 974). Mereka
bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah,
tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang
beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang
menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam (‘Umdat
at-Tafsir 1/383-384).
k.
Ahli syura’ mengedepankan musyawarah dan
nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan
yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin.
Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura’ bergantung pada
maslahat yang dipandangnya (Al ‘Umdah fi I’dad Al ‘Uddah 112). Sedangkan
dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan
parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang
kredibel dari pemerintahan.
l.
Apabila terdapat nash syar’i dari Al Quran dan
hadits, maka ahli syura’ wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan
pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat
minoritas ataupun mayoritas.
Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash
syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas Al Laadiniyah/al-’Ilmaniyah
(ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran
prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum
yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.
Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk
menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh
hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup
kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai
permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi (Asy
Syura’ wa ad-Dimuqratiyyah Al Gharbiyyah hlm. 32).
Meskipun ada persamaan antara syura’ dan
demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat
perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang
syura’ adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al basyar (Rabb
manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari
manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.Wallahu Al
Muwaffiq.
Daftar Pustaka
http://www.selamatkan-indonesiaku.net.
http://syahri93.blogspot.com/2013/07/makna-sila-ke-4-pancasila.html
Hubungan Alhikmah, Musyawarah, dan Sistem Perwakilan serta Makna
Sila Keempat
Diajukan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam

Oleh:
SitiBadriyah
2225141011
Kelas:
I A
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar