22. MAKNA SYAHADAT
TUJUAN
Peserta mamahami makna dan hakikat
dua kalimat syahadah
Peserta menngetahui pengaruh dua
kalimah syahadah bagi kehidupan seoorag
mukmin
Peserta termotivasi untuk
menjalankan secara benar syahadah uluhiyah dan
syahadah risalahnya dalam kehidupan
sehari-hari
RINCIAN BAHASAN
Syahadatain berarti 2 kalimat
syahadah. Dua syahadah yang dimaksud adalah
syahadah uluhiyah dan syahadah
risalah. Syahadah uluhiyah terdiri dari kalimat Laa
Ilaaha Illallah. Secara bahasa kata Laa
berfungsi sebagai Kalimatun Nafii (kata yang
menolak), kata Ilaaha
berfungsi sebagai Al-Munafii (yang ditolak), kata Illa berfungsi
sebagai Kalimatul Itsbatu
(kata yang mmengukuhkan), dan Dan kata Allah berfungsi
sebagai Al-Mutsbitu (yang
dikukuhkan). Jadi syahadah uluhiyah (Laa Ilaaha Illallah)
merupakan penolakan terhadap segala
bentuk ilah yang diikuti dengan mengukuhkan
Allah saja sebagai satu-satunya
Ilah. Firman Allah :
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya : Bahwasanya Tidak ada
Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku.” (QS.21:25)
Tauhid ulllluhiyah juga mengandung
pengertian bahwa Allah sebagai Ma’bud
(yang disembah) dan Allah sebagai
Ghayah (tujuan). Dalam QS>51:56 Allah Berfirman :
“Dan Ak tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahku.”
Bahkan seorang muslim dalam sehari
mengikrarkan minimal sebanyak 17 kali
bahwa “hanya kepadaMu-lah kami menyembah dan
kepadaMu-lah kami mohon
pertolongan.” Dengan demikian
Laa Ilaha Illallah juga berarti Laa Ma’buda Illallah.
Kalimat ini juga berarti Laa
Ghayatu Illallah (tidak ada tujuan melainkan Allah).
Allah berfirman dalam QS. 94:8 : “
Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu
berharap (menempatkan tujuan)”.
Bahkan seorang muslim juga senantiasa berikrar
bahwa ‘Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah Roob
semesta alam’.
Allah sebagai satu-satunya
sesembahan adalah konsekuensi tertinggi dari
syahadat tauhid uluhiyah. Seseorang
yang telah bersyahadat tauhid berarti telah
memproklamirkan dan berjanji
untukmengabdikan dirinya kepada Allha semata, artinya
tidak mempersekutukan Allah dengan
sesuatu apapun. Ia telah menyatakan dirinya
muslim (orang yang tunduk patuh
kepada Allah sehingga selamat di dunia dan akhirat).
Konsekuensinya, seluruh hidupnya
untuk taat kepada Allah dan keridhoan-Nya. Janji
Allah bagi seorang yang bertauhid disabdakan
oleh Rasulullah SAW :
“Siapa yang mati dan dia tahu
(meyakini) Laa Ilaaha Illallah niscaya ia akan masuk
surga .” (Al Hadits).
Jika seseorang telah memulai dengan
menegakkan Laa Ilaaha Illallah pada
dirinya maka akan tumbuh sikap
Al-Baro’. Al-Baro’ berarti memusuhi, membenci dan
menghancurkan
setiap bentuk Ilah selain Allah. Pengertian Ilah sendiri adalah sesuatu
yang ditakuti,
diharapkan, dicintai, ditaati dan disembah. Firman Allah :
“Sesungguhnya
kami berlepas diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah,
kami ingkari
(kekafiranmu) dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS.60:4)
Al-Baro’ juga berarti pengingkaran,
berlepas diri, mengambil garis pemisah
terhadap Al
Bathil. Ia merupakan perwujudan syahadah, berupa penolakan terhadap
semua ilah,
lalu menyerahkan loyalitasnya kepada Allah. Dalam kondisi ini seorang
muslim menjadi
manusia yang merdeka, bebas dari tuhan-tuhan palsu, jerat hawa nafsu
syahwat,
belenggu harta atau tahta/jabatan.
Al Baro’ merupakan proses yang
harus dilalui seorang muslim dalam upaya
menyiapkan
lahan yang subur bagi tumbuhnya keimanan. Ibarat petani membersihkan
lahan, agar
pohon ketaqwaan dapat berkembang sebagaimana seharusnya. Ibarat
pemborong yang
meruntuhkan puing-puing bangunan yang telah lapuk, lalu mendirikan
bangunan iman
yang menjulang kokoh.
Dengan membatalkan semua bentuk
ilah di luar Allah SWT dan
mengecualikannya
hanya untuk Allah, maka akan tumbuh sikap Al Wala’. Al Wala’ berati
loyalitas,
siap mentaati perintah Allah dengan kecintaan dan ketaatan, mengabdi
semata-mata
kepada Allah dan tidak bersedia menjalankan perintah siapapun,
kapanpun dan
di manapun juga, kecuali jika sesuai (tidak bertentangan) dengan
perintah
Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya wala’ kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman ,yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tnduk (kepada
Allah). Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi
wala’nya, maka
sesungguhnya hizbullah itulah yang pasti menang”.(QS.5:54-55)
Al Wala’ adalah tempat di mana kita
menggantungkan harapan, menumpahkan
rasa sedih dan
gembira, memohon pertolongan dan perlindungan. Sebaik-baik wala’
adalah Allah,Rasulnya
dan orang-orang beriman. Maka barangsiapa berwala’ kepada
hal ini
jaminan Allah adalah kemenangan. Menang dalam fase dunia adalah kemuliaan,
dalam fase
akhirat adalah surga.
Jika seseorang telah memiliki
prinsip bahwa tiada yang berhak disembah
kecuali Allah
(Laa ma’buda bihaqqin illa Allah),barulah dapat dikatakan sebagai seorang
mukhlisin(orang
yang ikhlas)sejati. Orang-orang ikhlas inilah yang tidak akan pernah
berhasil
digoda oleh syaitan. Allah berfirman dalam QS. Shaad (38): 82-83:
“Iblis menjawab: Demi kekuasaan
Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka “.
Orang-orang seperti ini mencintai
Allah di atas segalanya. Allah berfirman
dalam QS.
2:165 :
“Dan diantara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-
tandingan
selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun
orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...”.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa ‘Tidak
ada kesenangan dan kenikmatan yang
sempurna bagi
hati, kecuali dalam kecintaan kepada Allah dan bertaqarrub kepada-Nya
dengan
mengerjakan apa-apa yang dicintai-Nya. Kecintaan tidak akan terjadi kecuali
dengan berpaling dari kecintaan
kepada selain-Nya. Inilah hakekat Laa Ilaha Illallah.
Inilah jalan Ibrahim dan semua nabi
serta rasul’.
Adapun syahadah kkedua yaitu
syahadah risalah, yaitu pengakuan ‘persona
grata’ (orang yang dipercaya)
terhadap Rasulullah sebagai duta Allah bagi alam
semesta dan kesiapan menjadikan sebagai
‘examplia gratia’ (contoh/uswah) dalam
setiap aspek kehidupan (QS. 21:107,
33:21, 68:4).
Jika seorang muslim mengakui Nabi
SAW sebagai ‘persona grata’ dan siap
menjadikannya sebagai ‘exmplia
gratia’, maka barulah dikatakan ia berwala’ (loyal)
kepada Rasulullah SAW. Berwala’ kepada nabi berarti harus
senantiasa ittiba’
(mengikuti) beliau dalam setiap
aspek kehidupan. Karena Ittiba’ur Rasul merupakan
bukti kecintaan dan ketaatan kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya. Firman Allah:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”(QS. Ali Imran: 31,32).
Risalah mengandung mengandung
pengertian sesuatu yang diwahyukan Allah
SWT berupa prinsip hidup, moral,
ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia
agar terwujud kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Urgensi (kepentingan) manusia
terhadap risalah sangat jelas.
Tanpa risalah manusia tidak mungkin mengenal Allah,
sifat-sifat-Nya serta tata cara beribadah
kepada-Nya; manusia tidak akan mengetahui
adanya alam ghaib seperti alam
barzakh, alam mahsyar, surga dan neraka. Tanpa
risalah manusia tidak menyetahui
tujuan penciptaan-Nya dan tidak bisa menentukan
undang-undang sistem hidup yang
menjamin terealisirnya keadilan dan persamaan hak.
Jalan satu-satunya untuk mengetahui
petunjuk Allah ini adalah lewat risalah-
Nya yang diinterprestasikan oleh
Rasul-Nya. Dengan demikian syahadat risalah juga
mengandung pengertian ; (1)
membenarkan setiap apa yang beliau khabarkan (QS.
53:3-4), (2) menaati apa yang
diperintahkan (QS. 4:59), (3) menjauhi apa yang beliau
larang (QS. 59:7) dan (4) beribadah
menurut syari’atnya.
Kewajiban seorang muslim terhadap
Rasulullah SAW adalah beriman
kepadanya, taat/mengikutinya dan
mencintainya. Allah telah memberikan khabar tentang
kerugian besar dan penyesalan yang
mendalam bagi seseorangyang mengetahui ajaran
Nabi SAW kemudian tidak taat dan
tidak mengikutinya. Firman Allah:
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu)
orang yang zalim menggigit dua tangannya
seraya berkata:’Aduhai kiranya
(dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”(QS.
25-27).
Barang siapa yang menaati Allah dan
Rasul-Nya, Allah akan menyediakan
baginya surga (QS. 4:13).
Seorang muslim wajib mencintai Nabi
Muhammad SAW melebihi cintanya
kepada segala sesuatu. Sabda beliau
SAW:
“Tidak beriman seseorang (dengan
sempurna) di antara kalian kecuali aku lebih
dicintai dari dirinya sendiri,
orang tua dan seluruh manusia”(Al Hadist).
Syahadah uluhiyah dan risalah
adalah suatu kesatuan (unity) yang tak dapat
dipisahkan. Seorang muslim tidak
dapt menerima hanya satu saja dari kedua syahadah
itu. Jika seseorang hanya menerima
syahadah uluhiyah saja berarti dia menjadi ingkar
sunnah. Bila sesseorang hanya
menerima syahadah risalah saja, berarti dia menjadi
seorang
Mohammedian. Keduanya tidak diperbolehkan dan bukan bagian dari ummat
Islam.
DISKUSI
Benarkah
manusia memang membutuhkan risalah ilahi. Bukankah Allah telah
memberikan
akal kepada manusia untuk berfikir? Apakah akal saja cukup untuk
membuat suatu
perangkat sistem hidup? Faktor-faktor apa yang tidak dimiliki oleh
manusia
sehingga ia tidak dapat membuat ‘risalah’ bagi dirinya sendiri?
REFERENSI
Paket BP Nurul
Fikri , Syahadahmu Syahadahku
Muh. Bin Sid
bin Salim Al-Qahthany, Loyalitas Muslim Terhadap Islam
Muh. Said
Al-Qaathani, Muh. Bin Abd. Wahhab, Muh. Qutb, Memurnikan Laa Ilaaha
Illallah
Koleksi Bahan
Tarbiyah Islamic Network (Isnet, 1996)
Aqidah Seorang
Muslim, Al Ummah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar