Sabtu, 19 Desember 2015

Makna Syahadat

22. MAKNA SYAHADAT

TUJUAN
Peserta mamahami makna dan hakikat dua kalimat syahadah
Peserta menngetahui pengaruh dua kalimah syahadah bagi kehidupan seoorag
mukmin
Peserta termotivasi untuk menjalankan secara benar syahadah uluhiyah dan
syahadah risalahnya dalam kehidupan sehari-hari
RINCIAN BAHASAN
Syahadatain berarti 2 kalimat syahadah. Dua syahadah yang dimaksud adalah
syahadah uluhiyah dan syahadah risalah. Syahadah uluhiyah terdiri dari kalimat Laa
Ilaaha Illallah. Secara bahasa kata Laa berfungsi sebagai Kalimatun Nafii (kata yang
menolak), kata Ilaaha berfungsi sebagai Al-Munafii (yang ditolak), kata Illa berfungsi
sebagai Kalimatul Itsbatu (kata yang mmengukuhkan), dan Dan kata Allah berfungsi
sebagai Al-Mutsbitu (yang dikukuhkan). Jadi syahadah uluhiyah (Laa Ilaaha Illallah)
merupakan penolakan terhadap segala bentuk ilah yang diikuti dengan mengukuhkan
Allah saja sebagai satu-satunya Ilah. Firman Allah :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya : Bahwasanya Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku.” (QS.21:25)
Tauhid ulllluhiyah juga mengandung pengertian bahwa Allah sebagai Ma’bud
(yang disembah) dan Allah sebagai Ghayah (tujuan). Dalam QS>51:56 Allah Berfirman :
“Dan Ak tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku.”
Bahkan seorang muslim dalam sehari mengikrarkan minimal sebanyak 17 kali
bahwa   “hanya kepadaMu-lah kami menyembah dan kepadaMu-lah kami mohon
pertolongan.” Dengan demikian Laa Ilaha Illallah juga berarti Laa Ma’buda Illallah.
Kalimat ini juga berarti Laa Ghayatu Illallah (tidak ada tujuan melainkan Allah).
Allah berfirman dalam QS. 94:8 : “ Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu
berharap (menempatkan tujuan)”. Bahkan seorang muslim juga senantiasa berikrar
bahwa ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah Roob
semesta alam’.
Allah sebagai satu-satunya sesembahan adalah konsekuensi tertinggi dari
syahadat tauhid uluhiyah. Seseorang yang telah bersyahadat tauhid berarti telah
memproklamirkan dan berjanji untukmengabdikan dirinya kepada Allha semata, artinya
tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Ia telah menyatakan dirinya
muslim (orang yang tunduk patuh kepada Allah sehingga selamat di dunia dan akhirat).
Konsekuensinya, seluruh hidupnya untuk taat kepada Allah dan keridhoan-Nya. Janji
Allah bagi seorang yang bertauhid disabdakan oleh Rasulullah SAW :
“Siapa yang mati dan dia tahu (meyakini) Laa Ilaaha Illallah niscaya ia akan masuk
surga .” (Al Hadits).
Jika seseorang telah memulai dengan menegakkan Laa Ilaaha Illallah pada
dirinya maka akan tumbuh sikap Al-Baro’. Al-Baro’ berarti memusuhi, membenci dan







menghancurkan setiap bentuk Ilah selain Allah. Pengertian Ilah sendiri adalah sesuatu
yang ditakuti, diharapkan, dicintai, ditaati dan disembah. Firman Allah :
“Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah,
kami ingkari (kekafiranmu) dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS.60:4)
Al-Baro’ juga berarti pengingkaran, berlepas diri, mengambil garis pemisah
terhadap Al Bathil. Ia merupakan perwujudan syahadah, berupa penolakan terhadap
semua ilah, lalu menyerahkan loyalitasnya kepada Allah. Dalam kondisi ini seorang
muslim menjadi manusia yang merdeka, bebas dari tuhan-tuhan palsu, jerat hawa nafsu
syahwat, belenggu harta atau tahta/jabatan.
Al Baro’ merupakan proses yang harus dilalui seorang muslim dalam upaya
menyiapkan lahan yang subur bagi tumbuhnya keimanan. Ibarat petani membersihkan
lahan, agar pohon ketaqwaan dapat berkembang sebagaimana seharusnya. Ibarat
pemborong yang meruntuhkan puing-puing bangunan yang telah lapuk, lalu mendirikan
bangunan iman yang menjulang kokoh.
Dengan membatalkan semua bentuk ilah di luar Allah SWT dan
mengecualikannya hanya untuk Allah, maka akan tumbuh sikap Al Wala’. Al Wala’ berati
loyalitas, siap mentaati perintah Allah dengan kecintaan dan ketaatan, mengabdi
semata-mata kepada Allah dan tidak bersedia menjalankan perintah siapapun,
kapanpun dan di manapun juga, kecuali jika sesuai (tidak bertentangan) dengan
perintah Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya wala’ kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman ,yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tnduk (kepada
Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi
wala’nya, maka sesungguhnya hizbullah itulah yang pasti menang”.(QS.5:54-55)
Al Wala’ adalah tempat di mana kita menggantungkan harapan, menumpahkan
rasa sedih dan gembira, memohon pertolongan dan perlindungan. Sebaik-baik wala’
adalah Allah,Rasulnya dan orang-orang beriman. Maka barangsiapa berwala’ kepada
hal ini jaminan Allah adalah kemenangan. Menang dalam fase dunia adalah kemuliaan,
dalam fase akhirat adalah surga.
Jika seseorang telah memiliki prinsip bahwa tiada yang berhak disembah
kecuali Allah (Laa ma’buda bihaqqin illa Allah),barulah dapat dikatakan sebagai seorang
mukhlisin(orang yang ikhlas)sejati. Orang-orang ikhlas inilah yang tidak akan pernah
berhasil digoda oleh syaitan. Allah berfirman dalam QS. Shaad (38): 82-83:
“Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka “.
Orang-orang seperti ini mencintai Allah di atas segalanya. Allah berfirman
dalam QS. 2:165 :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...”.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa ‘Tidak ada kesenangan dan kenikmatan yang
sempurna bagi hati, kecuali dalam kecintaan kepada Allah dan bertaqarrub kepada-Nya
dengan mengerjakan apa-apa yang dicintai-Nya. Kecintaan tidak akan terjadi kecuali









dengan berpaling dari kecintaan kepada selain-Nya. Inilah hakekat Laa Ilaha Illallah.
Inilah jalan Ibrahim dan semua nabi serta rasul’.
Adapun syahadah kkedua yaitu syahadah risalah, yaitu pengakuan ‘persona
grata’ (orang yang dipercaya) terhadap Rasulullah sebagai duta Allah bagi alam
semesta dan kesiapan menjadikan sebagai ‘examplia gratia’ (contoh/uswah) dalam
setiap aspek kehidupan (QS. 21:107, 33:21, 68:4).
Jika seorang muslim mengakui Nabi SAW sebagai ‘persona grata’ dan siap
menjadikannya sebagai ‘exmplia gratia’, maka barulah dikatakan ia berwala’ (loyal)
kepada Rasulullah   SAW. Berwala’ kepada nabi berarti harus senantiasa ittiba’
(mengikuti) beliau dalam setiap aspek kehidupan. Karena Ittiba’ur Rasul merupakan
bukti kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Firman Allah:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”(QS. Ali Imran: 31,32).
Risalah mengandung mengandung pengertian sesuatu yang diwahyukan Allah
SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia
agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat. Urgensi (kepentingan) manusia
terhadap risalah sangat jelas. Tanpa risalah manusia tidak mungkin mengenal Allah,
sifat-sifat-Nya serta tata cara beribadah kepada-Nya; manusia tidak akan mengetahui
adanya alam ghaib seperti alam barzakh, alam mahsyar, surga dan neraka. Tanpa
risalah manusia tidak menyetahui tujuan penciptaan-Nya dan tidak bisa menentukan
undang-undang sistem hidup yang menjamin terealisirnya keadilan dan persamaan hak.
Jalan satu-satunya untuk mengetahui petunjuk Allah ini adalah lewat risalah-
Nya yang diinterprestasikan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian syahadat risalah juga
mengandung pengertian ; (1) membenarkan setiap apa yang beliau khabarkan (QS.
53:3-4), (2) menaati apa yang diperintahkan (QS. 4:59), (3) menjauhi apa yang beliau
larang (QS. 59:7) dan (4) beribadah menurut syari’atnya.
Kewajiban seorang muslim terhadap Rasulullah SAW   adalah beriman
kepadanya, taat/mengikutinya dan mencintainya. Allah telah memberikan khabar tentang
kerugian besar dan penyesalan yang mendalam bagi seseorangyang mengetahui ajaran
Nabi SAW kemudian tidak taat dan tidak mengikutinya. Firman Allah:
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya
seraya berkata:’Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”(QS.
25-27).
Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, Allah akan menyediakan
baginya surga (QS. 4:13).
Seorang muslim wajib mencintai Nabi Muhammad SAW melebihi cintanya
kepada segala sesuatu. Sabda beliau SAW:
“Tidak beriman seseorang (dengan sempurna) di antara kalian kecuali aku lebih
dicintai dari dirinya sendiri, orang tua dan seluruh manusia”(Al Hadist).
Syahadah uluhiyah dan risalah adalah suatu kesatuan (unity) yang tak dapat
dipisahkan. Seorang muslim tidak dapt menerima hanya satu saja dari kedua syahadah
itu. Jika seseorang hanya menerima syahadah uluhiyah saja berarti dia menjadi ingkar
sunnah. Bila sesseorang hanya menerima syahadah risalah saja, berarti dia menjadi







seorang Mohammedian. Keduanya tidak diperbolehkan dan bukan bagian dari ummat
Islam.
DISKUSI
Benarkah manusia memang membutuhkan risalah ilahi. Bukankah Allah telah
memberikan akal kepada manusia untuk berfikir? Apakah akal saja cukup untuk
membuat suatu perangkat sistem hidup? Faktor-faktor apa yang tidak dimiliki oleh
manusia sehingga ia tidak dapat membuat ‘risalah’ bagi dirinya sendiri?
REFERENSI
Paket BP Nurul Fikri , Syahadahmu Syahadahku
Muh. Bin Sid bin Salim Al-Qahthany, Loyalitas Muslim Terhadap Islam
Muh. Said Al-Qaathani, Muh. Bin Abd. Wahhab, Muh. Qutb, Memurnikan Laa Ilaaha
Illallah
Koleksi Bahan Tarbiyah Islamic Network (Isnet, 1996)
Aqidah Seorang Muslim, Al Ummah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar